Mohon tunggu...
Mohamad Rian Ari Sandi
Mohamad Rian Ari Sandi Mohon Tunggu... -

Alumni PKn-FPIPS UPI. Peserta Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Pulau Telaga Besar Kab.Kepulauan Anambas. -Berhenti meratap masa lalu, mulailah menatap masa depan-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Deddy Mizwar, Sang Maestro Tayangan Religi

17 Juni 2017   08:59 Diperbarui: 17 Juni 2017   09:53 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deddy Mizwar. Bintang.com

(Sebuah catatan saat menghadiri talkshow bertema "Dakwah Layar Kaca" di Masjid Salman ITB)

Rabu, 14 Juni 2017, saya bersama dua orang teman berkesempatan menghadiri acara talkshow Inspirasi Ramadhan di Masjid Salman ITB yang menghadirkan Deddy Mizwar sebagai pembicara dengan tema "Dakwah Layar Kaca". Deddy hadir dalam kapasitasnya sebagai seorang praktisi di dunia sinetron dan film Indonesia.

Seperti kita ketahui, sinetron dan film yang dibintangi, disutradai, dan atau diproduseri oleh Deddy hampir pasti selalu mengusung pesan-pesan edukatif bagi penontonnya. Lucu tanpa mencela, mengkritisi tanpa menghakimi, serta mendidik tanpa menggurui, itulah ciri khas dari karya-karya Deddy Mizwar. Tiga unsur yang tidak mudah untuk dipadukan dalam sebuah karya sinetron atau film.

Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, dan Para Pencari Tuhan merupakan karya-karyanya di dunia sinteron. Sementara Nagabonar, Nagabonar Jadi 2, Kiamat Sudah Dekat, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan Tanah Surga. Katanya, merupakan karyanya di dunia film. Bagi saya pribadi, karya-karya Deddy Mizwar yang disebutkan di atas tak ada yang gagal, semuanya berkualitas, dan semuanya memberi kesan mendalam bagi penontonnya.

Tema "Dakwah Layar Kaca" diangkat oleh panitia dilatarbelakangi mirisnya kondisi dunia pertelevisian Indonesia. Acara-acara yang dihadirkan oleh stasiun tv saat ini sangat minim dengan acara-acara yang bernilai dakwah Islam ataupun bernilai edukatif secara universal. Bahkan di bulan suci Ramadhan seperti saat ini pun tetap saja sukar untuk menikmati tontonan berkualitas di layar kaca televisi.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Moderator talkshow dalam pengantarnya mengajak para audiens, terkhusus generasi 80an atau 90an, untuk bernostalgia dengan mengulas salah satu karya Deddy Mizwar yakni sinetron Lorong Waktu yang di tahun 1999-2006 menghiasi layar kaca televisi kita di bulan suci Ramadhan. 

Tayangan tersebut menceritakan tiga tokoh utama yakni Pak Haji Husin, dengan dua orang muridnya yakni Ustadz Addin dan Zidan untuk bertualang menggunakan lorong waktu. Pak Haji dan Zidan bertualang, sementara Ustadz Addin menjadi operator mesin lorong waktu tersebut. Petualangan-petualangan Pak Haji dan Zidan selalu penuh dengan hikmah sehingga memberi banyak pelajaran bagi para penonton.

Selain itu moderator pun mengulas keberadaan sinetron Para Pencari Tuhan yang di Ramadhan ini memasuki tahun ke-11. Di awal mula kemunculannya, Deddy Mizwar dianggap berani karena menayangkan sebuah acara sinetron di jam sahur penonton. Saat itu (dan bahkan hingga kini), acara sahur didominasi oleh acara-acara komedi yang tak banyak memberi nilai positif kepada masyarakat. 

Sebaliknya, acara komedi tersebut seringkali kontraproduktif dengan suasana Ramadhan. Namun ternyata, Para Pencari Tuhan saat itu langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Sinetron tersebut seakan menjadi oase di tengah kehausan masyarakat akan tontonan yang mendidik dan mencerahkan.

Tak bisa dipungkiri, kini kita menginginkan tayangan-tayangan sinetron berkualitas seperti karya-karya Deddy Mizwar bisa lebih banyak menghiasi layar kaca televisi kita agar anak-anak kita tak melulu dicekoki dengan kisah-kisah percintaan anak remaja yang miskin nilai.

Dakwah Layar Kaca

Saat sesi talkshow dimulai, Deddy Mizwar menceritakan secara singkat kronologi awal mula Ia dengan karyanya bisa menembus dunia televisi. Menurut Deddy, di tahun 90an acara televisi di Indonesia tidak mencerminkan Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Ia pun kemudian menelurkan sinetron Abu Nawas di tahun 1993 yang tayang di RCTI.

Di akhir tahun 90an, Deddy hendak kembali menawarkan sinetron religi untuk ditayangkan di televisi. Namun saat itu salah satu stasiun televisi tidak yakin bahwa sebuah sinetron religi akan sukses menggaet pasar.

Mendapat penolakan seperti itu Deddy bergeming. Ia yakin bahwa jika sebuah sinetron religi dibalut dengan hiburan akan suksesan. Bahkan Ia mengatakan rela tidak bayar sebagai seorang konseptor sinetron religi tersebut jika ditayangkan di televisi. Ia hanya meminta bayaran sebagai aktor saja.

Pada akhirnya, sinetron Lorong Waktu yang bernuansa religi dan dibalut dengan bumbu hiburan tayang perdana di tahun 1999. Lorong Waktu langsung mendapat respon positif dari masyarakat pada saat itu hingga kemudian tayangannya dibuat hingga seri ke-6 di tahun 2006.

Deddy memaparkan bahwa media sinetron dan film merupakan media potensial untuk melakukan dakwah. Dengan karakteristiknya yang audio visual, sinetron dan film merupakan media yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dengan efektif.

Ia pun berujar bahwa film adalah sihir. Sebuah dialog dalam suatu film akan tetap terkenang di benak seseorang walaupun penayangan film tersebut sudah berlalu 20 tahun lalu. Dialog seperti "Bujang, sudah kubilang jangan bertempur, kau bertempur juga. Matilah kau. Habis dimakan cacing." adalah dialog di film Nagabonar di tahun 1987, tepat 20 tahun lalu, tapi hingga kini dialog tersebut tetap familiar di benak banyak orang. Hal itu menunjukkan bahwa sebuah film yang berkualitas dan memberi pesan positif pada masyarakat, automatically, akan dikenang oleh masyarakat melintasi zaman.

Lebih lanjut Deddy mengatakan bahwa sebuah film menggerakkan 25 frame dalam satu detik bisa membuat orang menangis, tertawa, marah, dan bahagia. Sementara itu jika sebuah ayat Al Quran dilantunkan secara langsung terkadang tidak bisa serta membuat kita tersentuh. Maka dari itulah jika sinetron dan film digunakan untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam tentu bisa berefek besar.

Sayangnya, menurutnya, saat ini kita lebih asyik menjadi penonton. Alhasil media lebih dikuasai oleh orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dengan dakwah Islam. Sekalipun ada sinterton yang seolah-olah islami, tapi pada kenyataannya tidak.

Untuk itulah, Deddy berpesan pada generasi muda khususnya, agar bisa berwirausaha termasuk membuat karya sinetron dan film yang menebarkan nilai-nilai Islam untuk dikonsumsi masyarakat luas. Ia menuturkan bahwa itu merupakan peluang besar baik dari segi kepuasan spiritual maupun finansial. 

Secara spiritual, saat karya kita bisa mempengaruhi orang lain dengan nilai-nilai positif, tentu betapa besar kebaikan yang insyaAllah mengalir pada kita. Sementara secara finansial, tentunya dunia entertainment menjanjikan rupiah di atas rata-rata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun