Ini kisah tentang murid Anas ibn Malik Radhiyallaahu ‘Anhu yang bernama Muhammad ibn Sirin. Kisah ini saya rangkum dari buku ‘Dalam Dekapan Ukhuwah’ yang ditulis oleh Ustadz Salim A.Fillah.
Muhammad ibn Sirin adalah seorang alim besar sekaligus usahawan. Suatu hari beliau membuka salah satu dari empat puluh kaleng besar minyak zaitun yang dibelinya dari seorang pemasok dengan harga 40.000 dirham. Alangkah kagetnya beliau saat mendapati sebuah bangkai tikus di kaleng minyak pertama yang dibuka tersebut.
Tanpa memikirkan risiko besar yang harus ditanggungnya, beliau segera memerintahkan seorang pelayan untuk membuang semua minyak zaitun tersebut. “Seluruh minyak ini, dibuat di tempat penyulingan yang sama. Aku khawatir bahwa najis bangkai ini telah mencemari keseluruhan minyak. Maka buanglah semuanya!” Begitu perintah tegasnya kepada salah seorang pelayan.
Padahal minyak zaitun yang dia beli dengan harga 40.000 dirham tersebut dilakukan dengan berhutang. Rencana semula, untuk pembayaran minyak itu kepada pemasok dia akan memakai hasil penjualan nantinya. Namun karena keputusannya membuang seluruh minyak tersebut dan tanpa ada modal sedikit pun di tangan, jadilah sang pemasok melaporkannya ke pengadilan karena tidak sanggup membayar hutang.
Singkat cerita Muhammad ibn Sirin dinyatakan bersalah oleh hakim dan harus dijebloskan ke penjara. Tetapi ia ridha dengan keputusan hakim tersebut. Penduduk di kota tempat ia menetap amat bersedih ketika mendengar hukuman yang harus dijalani oleh ulama yang sangat dihormati tersebut.
Warga berbondong-bondong mengantarkannya ke penjara dengan deraian air mata. Di dalam jeruji besi, sipir yang bertugas menjaganya pun merasa iba pada nya. Setiap hari dia mengamati Muhammad ibn Sirin menangis ketika beristighfar, shalat, dan membaca Al-Qur’an. Ia lantas berujar di suatu hari “Wahai Syaikh, bagaimana seandainya aku mengizinkan engkau untuk pulang ke rumahmu setiap malam tiba dan datanglah kembali ke penjara ini ba’da Subuh?” Sebuah tawaran menggiurkan yang hampir pasti diinginkan oleh setiap narapidana yang merindukan rumahnya. Namun ternyata, Muhammad ibn Sirin dengan tersenyum menyampaikan ucapan penolakan “Jika engkau melakukan itu, engkau akan menjadi seorang yang khianat. Demi Allah, aku ridha berada di tempat ini.”
Sampai pada suatu saat sipir mengatakan bahwa Gubernur dan Pengadilan memerintahkan dan memberinya izin keluar untuk mengurus jenazah Anas ibn Malik sesuai wasiat sahabat Rasulullah tersebut. Kali ini ia tidak menolak namun tidak juga langsung menerima. “Aku berada di sini, bukan karena Gubernur dan Pengadilan. Melainkan karena hutangku pada seorang pedagang. Tolong sampaikan padanya masalah ini. Jika dia mengizinkanku keluar untuk mengurus jenazah guruku, insyaAllah aku akan melakukannya. Dan sampaikan rasa syukur dan terima kasihku padanya.” Begitulah syarat yang diajukan oleh Muhammad ibn Sirin. Pedagang yang dimaksud lantas memberi izin dan merelakan. Maka dia pun bergegas mengurus jenazah guruya tercinta, Anas ibn Malik.
Seusai mengurus jenazah gurunya tersebut, Muhammad ibn Sirin kemudian kembali ke tempat dimana ia dipenjara. Dia tuntaskan seluruh sisa hukumannya dengan penuh kesabaran dan tawakkal kepada Allah Swt.
Jujur dalam Berniaga
Katakan yang benar meskipun pahit. Begitulah sabda Rasulullah dalam riwayat Al-Bukhari dari Abu Dzar Al-Ghiffari. Kisah Muhammad ibn Sirin di atas memberikan teladan kepada kita umumnya dan kepada para usahawan pada khususnya tentang keikhlasan untuk menyatakan kebenaran meskipun dari perbuatan itu kita harus merasakan kepahitan.
Ketika mendapati bangkai tikus di salah satu kaleng minyak zaitunnya, Muhammad ibn Sirin sebetulnya memiliki alternatif pilihan keputusan yang bisa diambil agar dia tidak merugi banyak. Dia bisa saja membuang bangkai tikus tersebut dan lalu menjual minyak zaitun ke pasaran tanpa harus mengatakan kepada konsumen bahwa di salah satu kaleng penampung minyak ditemukan ada bangkai tikus.
Atau kalau memang mau sedikit berhati-hati, ia bisa saja membuang satu kaleng dimana ditemukan bangkai tikus dan lalu menjual 39 kaleng lainnya. Toh, yang tahu keberadaan bangkai tikus hanya dia dan pelayannya. Dan toh belum tentu minyak zaitun di 39 kaleng lainnya sudah tercemari bangkai tikus. Dia bisa saja berspekulasi bahwa najis dari bangkai tikus tersebut hanya mencemari satu kaleng tepat dimana bangkai itu ditemukan.
Namun inilah Muhammad ibn Sirin yang bersifat wara’ demi menjaga diri dari syubhat. Dia lebih memilih merugi daripada harus mendustai konsumen dengan embel-embel “Minyak ini minyak terbaik” atau “Minyak ini kualitasnya lebih baik dibanding minyak yang ada di tangan si fulan”. Semua itu juga karena kecintaannya kepada Rasulullah Saw.
dimana guru tercintanya merupakan salah satu sahabat dari sang Nabi mulia tersebut. Sabda Nabi “Katakan yang benar meskipun pahit” ia amalkan tanpa perduli harus berakibat dirinya merasakan kepahitan berupa dijebloskan ke sel penjara. Atau mungkin baginya justru dijebloskan ke sel penjara bukanlah suatu kepahitan, tetapi sebaliknya merupakan sebuah kenikmatan karena dengan itu ia telah memilih menaati Allah dan Rasul-Nya. Lantas hari ini, berapa banyak usahawan yang memegang teguh prinsip kejujuran dalam menjalankan usahanya?
Saat kita berwirausaha, umumnya kita memiliki kecenderungan untuk selalu menyampaikan keunggulan dari produk yang kita jual. Bahkan tidak jarang, keunggulan-keunggulan yang disampaikan dengan berlebihan tersebut sebetulnya tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai contoh, seorang pedagang menyatakan bahwa tomat yang sedang dijajakannya masih segar karena baru dipetik dari kebun sehari sebelumnya.
Padahal pada kenyataannya tomat tersebut sudah dipetik pada 3 hari sebelumnya. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk lebih memikat para konsumen. Dan para konsumen tentunya sedikit banyaknya (apalagi bila tidak jeli) akan lebih tertarik bila tomat yang hendak dibelinya dinyatakan masih segar karena baru dipetik satu hari sebelumnya.
Begitulah, saat orientasi kita dalam berwirausaha hanya semata-mata untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, maka yang terjadi adalah kita akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak peduli cara yang ditempuh adalah cara yang kotor seperti menipu para konsumennya. Padahal sebetulnya, ketakutan tidak sukses dalam berniaga bila berbuat jujur tidaklah beralasan. Selama kejujuran dalam berniaga itu disertai dengan semangat kerja keras, kreatif, manajemen yang baik, serta menjalin hubungan yang baik dengan mitra bisnis dan konsumen, insyaAllah kesuksesan dalam berwirausaha akan diraih.
Lagi-lagi, kita harus meneladani Nabi Muhammad Saw. Saat Nabi masih bujang beliau berhasil menjual semua barang dagangan yang dibawa dari majikannya Siti Khadijah (yang kelak jadi istrinya) dengan cepat dan dengan keuntungan yang berlipat. Hal itu dikarenakan Nabi sangat menjunjung nilai kejujuran serta piawai memikat para konsumen dengan tutur halus bahasanya. Memang tidak mudah bagi kita untuk menedalani keluhuran akhlak beliau dalam berwirausaha. Susah, tapi bisa J
Wallahu’alam bish shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H