Mohon tunggu...
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah
Mohamad Ramadhan Argakoesoemah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen STIE Indonesia Banking School

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjanjian-Perjanjian Rakyat Indonesia dengan Pemerintah Hindia Belanda (Tahun 1945-1950)

27 Agustus 2023   19:03 Diperbarui: 27 Agustus 2023   19:06 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat, kota kecil yang berada kurang lebih 21 km sebelah barat Cirebon yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Gedung Perundingan Linggarjati di Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia.

Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr dan Lord Killearn, dari Diplomat Inggris, bertindak sebagai penengah mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

H.J. van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda. Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh perdana menteri Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Prof. Wim S. Schermerhorn dengan anggota Dr. H.J. van Mook, dan Lord Killearn pimpinan dari pihak Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil putusan perundingan Linggarjati tersebut menghasilkan 17 pasal yang antara lain berisi:

  • Belanda mengakui dengan cara de facto wilayah kekuasaan Republik Indonesia, yang meliputi Sumatra, Jawa, serta Madura.
  • Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  • Pihak Belanda dan Indonesia bakal sepakat bersama membentuk negara RIS.
  • Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda (Ratu Belanda) sebagai bakal kepala uni Indonesia-Belanda.

Hasil perjanjian Linggarjati menimbulkan beberapa pendapat pro serta kontra di kalangan masyarakat dan partai politik Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Terdapat poster yang dipajang di Bangunan Cagar Budaya Gedung Perundingan Linggarjati berisikan himbauan pencegahan konflik akibat pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.

Faktor ini sebabkan terjadinya pergolakan di Bali pada November 1946. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda. Pada 27 Oktober 1947, KTN dihadir membantu sengkera RI - Belanda.

Perjanjian Renville

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Atas usaha usul KTN, perundingan dilakukan di atas geladak kapal pasukan perang AL Amerika Serikat sebagai tempat yang netral "USS Renville", yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia (Paul Van) yang dipilih oleh Belanda, Australia (Richard Kirby) yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat (F. Graham) yang disetujui kedua belah pihak.

Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapat wilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.

Perjanjian diadakan di wilayah netral yaitu di atas kapal USS Renville milik Amerika Serikat dan dimulai tanggal 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap, Ali Sastroamidjojo, Haji Agus Salim, Nasrun, Dr. Coa Tik Ien dan Dr. Johannes Leimena sebagai wakil. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, Mr. H.A.L. van Vredenburgh, Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil. Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham, Paul van Zeeland, dan Richard Kirby dari PBB.

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak.

Pihak yang hadir pada perundingan Renville tampak di antaranya:

  • Delegasi Indonesia di wakili oleh Amir syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, Ahcmad Soebardjo, dan Nasrun.
  • Delegasi Belanda di wakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. Van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil.
  • PBB sebagai mediator, di wakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard Kirby.
  • Belanda berdaulat atas Indonesia sebelum Indonesia mengubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).

Isi perjanjian:

  • Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
  • Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
  • TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur (di belakang garis Van Mook).
  • Penghentian tembak-menembak.

Sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka. Wilayah RI semakin sempit saja.

Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut.

Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, Menganggap Negara Indonesia telah Kalah dan Bubar, kemudian ia mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Hingga pada 7 Agustus 1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

Akibat dari Perjanjian Renville itu pula, pasukan dari Resimen 40/Damarwulan, bersama batalyon di jajarannya, Batalyon Gerilya (BG) VIII Batalyon Gerilya (BG) IX, Batalyon Gerilya (BG) X, Depo Batalyon, EX.

ALRI Pangkalan X serta Kesatuan Kelaskaran, dengan total penikut sebanyak tidak kurang dari 5000 orang, juga Hijrah ke daerah Blitar dan sekitarnya. Resimen 40/Damarwulan ini kemudian berubah menjadi Brigade III/Damarwulan, dan batalyonnyapun berubah menjadi Batalyon 25, Batalyon 26, Batalyon 27.

Setelah keluarnya Surat Perintah Siasat No I, dari PB Sudirman, yang mengharuskan semua pasukan hijrah pulang dan melanjutkan gerilya di daerah masing-masing, Pasukan Brigade III/Damarwulan, di bawah pimpinan Letkol Moch Sroedji ini, melaksanakan Wingate Action, dengan menempuh jarak kurang lebih 500 kilometer selama 51 hari.

Perjanjian Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Ridderzaal Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.

Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara dua pihak.

Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan kedaulatan.

Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli--2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda.

Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

Perundingan mengenai utang luar negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda berlangsung berkepanjangan, dengan masing-masing pihak menyampaikan perhitungan mereka dan berpendapat mengenai apakah Indonesia Serikat mesti menanggung utang yang dibuat oleh Belanda setelah mereka menyerah kepada Jepang pada 1942.

Delegasi Indonesia terutama merasa marah karena harus membayar biaya yang menurut mereka digunakan oleh Belanda dalam tindakan militer terhadap Indonesia.

Pada akhirnya, berkat intervensi anggota AS dalam komisi PBB untuk Indonesia, pihak Indonesia menyadari bahwa kesediaan membayar sebagian utang Belanda adalah harga yang harus dibayar demi memperoleh kedaulatan. Pada 24 Oktober, delegasi Indonesia setuju untuk menanggung sekitar 4,3 miliar gulden utang pemerintah Hindia Belanda.

Permasalahan mengenai Papua Barat juga hampir menyebabkan pembicaraan menjadi buntu. Delegasi Indonesia berpendapat bahwa Indonesia harus meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda. Di pihak lain, Belanda menolak karena mengklaim bahwa Papua Barat tidak memiliki ikatan etnik dengan wilayah Indonesia lainnya.

Meskipun opini publik Belanda yang mendukung penyerahan Papua Barat kepada Indonesia, kabinet Belanda khawatir tidak akan dapat meratifikasi Perjanjian Meja Bundar jika poin ini disepakati.

Pada akhirnya, pada awal 1 November 1949 suatu kesepakatan diperoleh, status Papua Barat akan ditentukan melalui perundingan antara Indonesia Serikat dengan Belanda dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Isi perjanjian konferensi yang merupakan Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan adalah sebagai berikut:

  • Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  • Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland.
  • Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.

Keterangan tambahan mengenai hasil tersebut adalah sebagai berikut:

  • Serah terima kedaulatan atas wilayah Hindia Belanda dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
  • Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara.
  • Pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Parlemen Belanda memperdebatkan kesepakatan tersebut, dan Majelis Tinggi dan Rendah meratifikasinya pada tanggal 21 Desember oleh mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan. Terlepas dari kritik khususnya mengenai asumsi utang pemerintah Belanda dan status Papua Barat yang belum terselesaikan, legislatif Indonesia, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), meratifikasi kesepakatan tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Kedaulatan dipindahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan "penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan" yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, "akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara". Tekait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.

Perjanjian Roem-Roijen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949, 17 April 1949 diadakan perundingan pendahuluan di Jakarta dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yang semakin meluas, usaha di bidang diplomasi berjalan terus. UNCI mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI di Bangka. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada tanggal 28 Januari 1949. UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta.

Hasil pertemuan ini adalah:

  • Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya.
  • Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar.
  • Pemerintah Republik Indonesia, Soekarno-Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.
  • Angkatan bersenjata Belanda akan bersedia menghentikan semua operasi militer tembak-menembak dan membebaskan tawanan perang dan politik.

Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

  • Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948.
  • Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak.
  • Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia serta kerja sama memulihkan perdamaian dan hukum.

Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta. Belanda menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 -- 6 Juli 1949. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949. Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang masalah dalam agenda pertemuan, kecuali Papua Belanda.

Referensi

  • Kirby, Woodburn S (1969). War Against Japan, Volume 5: The Surrender of Japan. HMSO. p. 258.
  • Friend, Bill personal comment 22 April 2004.
  • Friend, Theodore (1988). Blue Eyed Enemy. Princeton University Press. pp. 228 and 237. ISBN 978-0-691-05524-4.
  • Nyoman S. Pendit, Bali Berjuang (2nd edn Jakarta:Gunung Agung, 1979 [original edn 1954]).
  • Reid (1973), page 58,n.25, page 119,n.7, page 120,n.17, page 148,n.25 and n.37.
  • Pramoedya Anwar Toer, Koesalah Soebagyo Toer and Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia [Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, vol. I (1945), vol. II (1946) 1999, vol. III (1947), vol. IV (1948) 2003].
  • Ann Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt, 1870--1979 (New Haven:Yale University Press, 1985), p103.
  • Vickers (2005), page 100.
  • Kolff (pub) (1949), Hasil-Hasil Konperensi Medja Bundar sebagaimana diterima pada Persidangan Umum yang kedua Terlangsung Tangal 2 Nopember 1949 di Ridderzaal di Kota 'S-Gravenhage (Results of the Round Table Conference as Accepted at the Plenary Session on 2 November 1949 at the Knight's Hall [Parliament Building] in The Hague) (dalam Indonesian), Djakarta: Kolff
  • Ide Anak Agung Gede Agung (1973). Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945--1965. Mouton & Co., ISBN 979-8139-06-2
  • Kahin, George McTurnan (1961) [1952]. Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press
  • Ricklefs, M.C. (1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300 (2nd ed.). London: MacMillan, ISBN 0-333-57689-6
  • Taylor, Alastair M. (1960). Indonesian Independence and the United Nations. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, ISBN 0-837-18005-8
  • Ide Anak Agung Gde Agung (1973) Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965. Mouton & Co., ISBN 979-8139-06-2
  • Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
  • Reid, Anthony (1974) The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Pty Ltd., ISBN 0-582-71046-4
  • Mertowijoyo, G, Indra (2015) Letkol Moch Sroedji, Jember Masa Perang Kemerdekaan, ISBN 978-602-14969-2-3
  • Machdi Suhadi, Sutarjo Adisusilo, A. Kardiyat Wiharyanto (2006). Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah untuk SMP dan MTs kelas IX. Erlangga. p. 30.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun