Mohon tunggu...
Mohamad Irfan
Mohamad Irfan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Islam

Mahasiswa S2 Studi Islam Pascasarjana UIN SATU Tulungagung. Strata satu (2019-2023) mengambil prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di kampus yang sama. Tertarik pada kajian-kajian Islam seperti sejarah, pemikiran, dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Syekh Al-Zarnuji dan Filsafat

22 Januari 2024   07:22 Diperbarui: 22 Januari 2024   15:27 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Wikimedia Commons

Suatu waktu saya membaca sebuah buku tepatnya pada bagian pembahasan tentang ilmu Kalam dan menemukan sebuah kalimat cukup menarik, kira-kira kalimat tersebut seperti ini: "Bagi orang awan filsafat itu menyesatkan dan bagi orang awam ilmu Kalam itu membingungkan". Sayangnya saya lupa judul dan penulis buku tersebut.

Kutipan kalimat tersebut saya jadikan caption pada sebuah postingan status Facebook saya pada beberapa minggu yang lalu. Guru saya sekaligus teman diskusi berbagai hal yang tidak mengenal waktu, Muttabi'in Muhammad memberikan komentar yang di luar prediksi melalui pesan WhatsApp, alih-alih langsung di kolom komentar Facebook.

Pokok permasalahannya pada diksi "awam" yang digunakan pada kalimat di atas yang menurutnya kurang tepat. Kang Muttabi'in, panggilan yang biasa saya gunakan, menyodorkan sebuah pertanyaan berkaitan dengan diksi tersebut. "Apakah pengarang buku Ta'lim al-Muta'alim (Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji) itu awam?" Saya jawab. "Dapat dipastikan tidak." Guru saya mengabarkan bahwa penulis buku tersebut dalam karyanya itu menyesatkan filsafat atau lebih tepatnya melarang belajar filsafat kepada para pelajar/santri.

Jadi, menurut guru saya kurang tepat jika menggunakan diksi "awam". Meskipun dalam benak saya "awam" di sini maksudnya adalah mereka "orang kebanyakan" yang memang tidak terbiasa (tidak ahli) dalam ruang pembahasan tentang filsafat sehingga mereka bisa saja tersesat akibat salah paham.

Artinya, meskipun seseorang menghukumi filsafat itu sesat bukan berarti orang tersebut awam. Bahkan bisa saja ia telah mengatahuinya secara mendalam tentang filsafat tetapi terdapat bagian dalam filsafat yang menurut pandangannya tidak sesuai dengan nilai-nilai atau bertentangan dengan syari'at Islam.

Dalam hal ini kita bisa menyebutkan seorang tokoh besar Islam yang kiranya mirip dengan gambaran di atas yakni, Imam al-Ghazali. Ulama yang bergelar Hujjat al-Islam itu bahkan mengkafirkan beberapa filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan al-Kindi yang menurutnya pemikiran-pemikiran fisafat mereka bertentangan dengan syari'at khususnya tentang ke-qadim-an alam, pengetahuan Tuhan, dan Kebangkitan jasmani.

Kembali ke pembahasan tentang pandangan Al-Zarnuji tentang filsafat. Pada salah satu bagian pada buku tersebut yang berkaitan dengan etika dalam belajar, Al-Zarnuji melarang seorang santri menggunakan tinta merah ketika menulis dalam proses belajar karena menurutnya merupakan kebiasaan dari seorang filsuf, bukan kebiasaan ulama salaf. Jangankan menggunakan tinta merah, mengendarai kendaraan berwarna merah pun dilarang karena identik dengan para filsuf.

Sebelumnya, pada bagian awal buku ini, Al-Zarnuji juga memberi peringatan kepada santri agar mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari ulama salaf (ilmu agama) dan meninggalkan ilmu selainnya termasuk ilmu debat.

Konteks debat dalam kasus ini adalah perbedaan pandangan yang terjadi setelah kematian para ulama yang bekaitan dengan ilmu fikih . Namun, seperti kita ketahui debat tidak hanya terjadi pada pembahasan tentang fikih tetapi juga pada filsafat yang dapat berlangsung selama berabad-abad dan tidak menemukan kesimpulan yang pasti. Al-Zarnuji menilai bahwa debat hanya akan menimbulkan persoalan negatif seperti membuang-buang waktu/umur, memicu keresahan, dan permusuhan.

Penilaian negatif Al-Zarnuji terhadap filsafat dapat dimaklumi karena berkaitan dengan sasaran buku Ta'lim al-Muta'alim sendiri yang diperuntukkan untuk mereka yang baru akan menuntut ilmu sehingga perlu preferensi ilmu apa yang sangat penting dan dibutuhkan serta paling bermanfaat baginya. Ini juga lah yang menjadi pemantik awal Al-Zarnuji menulis buku ini disamping pentingnya mengetahui etika-etika dalam menuntut ilmu oleh pencari ilmu.

Dalam hal ini Al-Zarnuji mengatakan bahwa ilmu yang wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu Tauhid dengan tujuan agar bisa mengetahui sifat-sifat Allah SWT sekaligus dalil-dalilnya. Hal ini penting karena menurut Al-Zarnuji imannya seseorang yang taqlid meskipun sah, tetapi dalam pandangan Al-Zarnuji adalah dosa. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak cukup seseorang (santri) hanya mengetahui sifat-sifat Allah tanpa mengetahui dalil-dalilnya.

Sepertinya jika menyebutkan Al-Zarnuji sebagai ulama yang anti terhadap filsafat agak terlalu berat. Pasalnya, dalam bukunya tersebut banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung makna filsofis. Pemikiran filsafatnya sepertinya dipengaruhi Al-Ghazali.

Salah satu hal penting lainnya dalam membahas tentang pandangan Al-Zarnuji terhadap filsafat yakni mencari informasi bagaimana kondisi sosio-intelektual dari Syekh Zarnuji sehingga ia anti terhadap filsafat. Beberapa sumber mengatakan bahwa Syekh Zarnuji hidup di akhir abad ke-12 atau awal abad ke 13 M.

Pada masa tersebut Dinasti Abbasiyah yang telah mengalami puncak kejayaan kemudian sejak abad ke-8 mulai mengalami krisis salah satunya akibat dari serangan militer yang dilakukan oleh berbagai bangsa asing ke jantung wilayah Dinasti Abbasiyah, yakni Baghdad. Selama berabad-abad, kota Baghdad dengan ikon utamanya yaitu Baitul Hikmah menjadi pusat pengembangan pengetahuan ilmiah yang salah satunya adalah filsafat. Bahkan, maju atau tidaknya suatu peradaban tolok ukurnya adalah filsafat.

Problem yang tidak bisa terlepas dari filsafat sehingga menimbulkan apresiasi bahkan penolakan adalah karena filsafat kebanyakan bersumber dari kultur-intelektual non-Muslim yang dalam hal ini adalah pemikiran filsafat Yunani kuno.

Terlepas dari kejayaan dan popularitas kota Baghdad, kota yang menjadi bagian penting pada abad kejayaan Islam (golden age) adalah Bukhara dan Samarkan (sekarang bagian dari Uzbekistan). Berbeda dengan Baghdad yang mengakomodir pengembangan semua disiplin ilmu, di dua kota ini fokus pada kajian ilmu eksoteris (syari'at) seperti hadis, fikih, dan ilmu kalam serta ilmu esoteris yakni tasawuf.

Dalam bidang hadis kita mengenal tokoh seperti Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi. Kemudian dalam bidang fiqih dan tafsir kita menemukan tokoh Abu Laits As-Samarqandy dan dalam bidang ilmu kalam adalah Abu Mansur al-Maturidi yang merupakan tokoh penting dalam Sunni selain imam al-Asy'ari. Sedangkan dalam bidang tasawuf adalah Bahauddin al-Naqsabandi yang merupakan pendiri dari tarekat al-Naqsabandiyah.

Terdapat tokoh lain selain di atas yakni Ibnu Sina yang terkenal dengan kepakarannya dalam bidang kedokteran. Tidak heran jika Al-Zarnuji merekomendasikan pelajar/santri untuk mempelajari kedokteran tentunya sebagai usaha dalam penyembuhan bukan untuk tujuan lain.

Maka dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa Al-Zarnuji anti terhadap filsafat di samping sasaran dari buku tersebut yang diperuntukan untuk penuntut ilmu pemula yang ditekankan untuk mempelajari ilmu agama terlebih dahulu, alasan lainnya adalah latar belakang sosio-intelektual Al-Zarnuji sendiri yang berfokus pada kajian-kajian yang berkaitan dengan ilmu eksoteris (syari'at).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun