Dalam hal ini Al-Zarnuji mengatakan bahwa ilmu yang wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu Tauhid dengan tujuan agar bisa mengetahui sifat-sifat Allah SWT sekaligus dalil-dalilnya. Hal ini penting karena menurut Al-Zarnuji imannya seseorang yang taqlid meskipun sah, tetapi dalam pandangan Al-Zarnuji adalah dosa. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak cukup seseorang (santri) hanya mengetahui sifat-sifat Allah tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
Sepertinya jika menyebutkan Al-Zarnuji sebagai ulama yang anti terhadap filsafat agak terlalu berat. Pasalnya, dalam bukunya tersebut banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung makna filsofis. Pemikiran filsafatnya sepertinya dipengaruhi Al-Ghazali.
Salah satu hal penting lainnya dalam membahas tentang pandangan Al-Zarnuji terhadap filsafat yakni mencari informasi bagaimana kondisi sosio-intelektual dari Syekh Zarnuji sehingga ia anti terhadap filsafat. Beberapa sumber mengatakan bahwa Syekh Zarnuji hidup di akhir abad ke-12 atau awal abad ke 13 M.
Pada masa tersebut Dinasti Abbasiyah yang telah mengalami puncak kejayaan kemudian sejak abad ke-8 mulai mengalami krisis salah satunya akibat dari serangan militer yang dilakukan oleh berbagai bangsa asing ke jantung wilayah Dinasti Abbasiyah, yakni Baghdad. Selama berabad-abad, kota Baghdad dengan ikon utamanya yaitu Baitul Hikmah menjadi pusat pengembangan pengetahuan ilmiah yang salah satunya adalah filsafat. Bahkan, maju atau tidaknya suatu peradaban tolok ukurnya adalah filsafat.
Problem yang tidak bisa terlepas dari filsafat sehingga menimbulkan apresiasi bahkan penolakan adalah karena filsafat kebanyakan bersumber dari kultur-intelektual non-Muslim yang dalam hal ini adalah pemikiran filsafat Yunani kuno.
Terlepas dari kejayaan dan popularitas kota Baghdad, kota yang menjadi bagian penting pada abad kejayaan Islam (golden age) adalah Bukhara dan Samarkan (sekarang bagian dari Uzbekistan). Berbeda dengan Baghdad yang mengakomodir pengembangan semua disiplin ilmu, di dua kota ini fokus pada kajian ilmu eksoteris (syari'at) seperti hadis, fikih, dan ilmu kalam serta ilmu esoteris yakni tasawuf.
Dalam bidang hadis kita mengenal tokoh seperti Imam Bukhari dan Imam Tirmidzi. Kemudian dalam bidang fiqih dan tafsir kita menemukan tokoh Abu Laits As-Samarqandy dan dalam bidang ilmu kalam adalah Abu Mansur al-Maturidi yang merupakan tokoh penting dalam Sunni selain imam al-Asy'ari. Sedangkan dalam bidang tasawuf adalah Bahauddin al-Naqsabandi yang merupakan pendiri dari tarekat al-Naqsabandiyah.
Terdapat tokoh lain selain di atas yakni Ibnu Sina yang terkenal dengan kepakarannya dalam bidang kedokteran. Tidak heran jika Al-Zarnuji merekomendasikan pelajar/santri untuk mempelajari kedokteran tentunya sebagai usaha dalam penyembuhan bukan untuk tujuan lain.
Maka dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa Al-Zarnuji anti terhadap filsafat di samping sasaran dari buku tersebut yang diperuntukan untuk penuntut ilmu pemula yang ditekankan untuk mempelajari ilmu agama terlebih dahulu, alasan lainnya adalah latar belakang sosio-intelektual Al-Zarnuji sendiri yang berfokus pada kajian-kajian yang berkaitan dengan ilmu eksoteris (syari'at).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H