Mohon tunggu...
Mohamad Irfan
Mohamad Irfan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Islam

Mahasiswa S2 Studi Islam Pascasarjana UIN SATU Tulungagung. Strata satu (2019-2023) mengambil prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di kampus yang sama. Tertarik pada kajian-kajian Islam seperti sejarah, pemikiran, dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibnu Rusyd dan Kebangkitan Dunia Barat (Bagian 1)

20 November 2023   15:58 Diperbarui: 20 November 2023   16:00 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca sejarah peradaban Islam tidak terlepas dari bagian sejarah yang menakjubkan. Era sejarah Islam yang menakjubkan tersebut atau era kemajuan dunia Islam menurut Ahmet T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan terjadi pada rentang abad ke-8 hingga ke-11 yang terjadi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah (750-1258) puncaknya pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809) yang meresmikan Baitul Hikmah di Baghdad yang kemudian dikembangkan oleh anaknya yaitu Khalifah al-Ma’mun (813-833).

Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan adalah entitas sentral kajian keilmuan dan kegiatan penerjemahan teks-teks berbahasa asing seperti Yunani Kuno, Sansekerta, Suriah, dan Persia yang didominasi oleh pembahasan tentang filsafat, matematika, fisika, kedokteran, geologi, dan lain sebagainya. 

Tidak hanya tempat pengkajian dan penerjemahan teks-teks asing dari peradaban sebelumnya, dari Baitul Hikmah juga melahirkan produk-produk keilmuan baru misalnya dalam bidang geografi, teknik, dan optik juga dalam bidang matematika seperti algoritma dan aljabar yang dikembangkan oleh al-Khawarizmi dan masih banyak lagi.

Reputasi Baitul Hikmah sebagai pusat kajian ilmu dengan fasilitas dan koleksi kepustakaan yang kompleks menarik perhatian tidak hanya dari kalangan umat Islam saja tetapi juga mereka yang berasal dari wilayah Barat. 

Keberhasilan besar kekhalifahan Abbasiyah dalam membangun peradaban Islam yang cemerlang tidak bisa dilepaskan dari peran khalifah al-Ma’un yang meresmikan Mu’tazilah sebagai teologi resmi negara. Dalam teologi Mu’tazilah, akal dijunjung tinggi bahkan lebih tinggi ketimbang wahyu. Doktrin ini sangat mendukung program pemerintah Abbasiyah dalam mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. 

Meskipun terdapat doktrin Mu’tazilah yang mengundang kontroversi, doktrin tersebut baik sedikit atau banyak diadopsi oleh beberapa filsuf rasional seperti Ibnu Rusyd mengingat Mu’tazilah dalam wilayah metode seperti yang dikatakan oleh Mustafa Akyol dalam Reopening Muslim Mind bahwa Mu’tazilah menggunakan metode filsafat Yunani Kuno Aristoteles yang digunakan dalam membangun argumentasi teologis ketika berdebat dengan kelompok kalam lain.  

Di sisi lain menurut sebagian orang, mengungkit-ungkit era tersebut adalah bagian dari romantisme sejarah. Itu adalah bentuk sindiran terhadap umat Islam yang hanya bisa memamerkan sejarah kejayaan Islam di masa lalu tetapi tidak mampu melakukan hal yang sama hingga era sekarang.

Kemudian era kejayaan dunia Islam (golden age) disusul era krisis pada abad ke-12 hingga abad ke-14 akibat serangan militer dari berbagai bangsa yaitu bangsa Mongol dan bangsa Barat (Kristen) ke wilayah vital dunia Islam salah satunya adalah Baghdad. Kota Baghdad pada masa itu adalah simbol kejayaan Islam yang merupakan pusat keilmuan yang banyak melahirkan para ilmuwan yang memberikan sumbangsih besar terhadap peradaban dunia dalam berbagai disiplin keilmuan. 

Namun, bukan berarti pada era krisis ini dunia Islam tidak lagi melahirkan ilmuwan atau filsuf besar berpengaruh seperti pada masa kejayaan Islam. Filsuf seperti Ibnu Rusyd (1126-1198) dan sosiolog seperti Ibnu Khaldun (1332-1406) dilahirkan pada masa krisis ini.

Sayangnya pemikiran dan karya dari Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun tidak begitu mendapatkan apresiasi yang layak di dunia Islam. Padahal tolok ukur kemajuan suatu peradaban adalah filsafat. Ketika filsafat kurang mendapatkan perhatian maka suatu peradaban belum bisa dikatakan maju. Dalam filsafat akal berfungsi secara sempurna dan tanpa batasan sehingga mendukung visi dan misi kemajuan peradaban.

Sebaliknya dunia Barat lebih mengapresiasi pemikiran dan karya mereka khususnya Ibnu Rusyd. Sedangkan Ibnu Khaldun tidak mendapatkan apresiasi dan posisi terbaik karena disiplin ilmu yang menjadi fokus Ibnu Khaldun seperti sejarah dan sosiologi belum populer di dunia Islam.

Perang intelektual juga menjadi penyebab, Ibnu Rusyd dalam Tahafut al-Tahafut melakukan serangan balik kepada al-Ghazali yang sebelumnya lebih dulu melancarkan serangan kepada beberapa filsuf seperti Ibnu Sina (980-1037) dan Al-Farabi (872-951) dalam Tahafut Al-Falasifah khususnya dalam pembahasan teologi atau kalam.

Selain itu Ibnu Rusyd juga melakukan kritik terhadap Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyah dalam kaitannya dengan pembahasan teologi. Padahal mazhab teologi al-Asy’ariyah memiliki pengikut yang sangat besar sehingga kritik yang dilakukan Ibnu Rusyd menimbulkan reaksi keras dari kalangan Asy’ariyah. Soal kedudukan akal dan wahyu Ibnu Rusyd memiliki perbedaan dengan Mu’tazilah dan Al-Asy’ariyah.

Mu’tazilah menganggap bahwa akal mampu menemukan kebenaran yang dalam hal ini menurut Mu’tazilah akal lebih tinggi kedudukannya ketimbang wahyu. Sedangkan Asy’ariyah berpendapat bahwa wahyu adalah sumber kebenaran tetapi akal tetap digunakan sebagai pertimbangan. Sedangkan Ibnu Rusyd melakukan integrasi antara akal dan wahyu sehingga sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran menurut Ibnu Rusyd bisa didapatkan dari akal dan wahyu atau yang disebut dengan kebenaran ganda (Double Truth).

Gagasan tentang kebenaran ganda khususnya di Timur (Islam) kurang cocok karena mereka menganggap wahyu lebih tinggi. Ibnu Rusyd mengatakan jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu maka hal tersebut akibat dari kesalahan akal dalam memahami wahyu. Yang artinya jika akal difungsikan dengan benar tidak mungkin bertentangan dengan wahyu. Bagi Ibnu Rusyd filsafat adalah anak kandung dari agama sendiri. 

Menurut Ibnu Rusyd akal dan wahyu bukanlah sesuatu yang bertentangan, keduanya harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tanpa akal ayat-ayat Qur'an (wahyu) tidak dapat dipahami dan tidak memiliki makna. oleh karena itu, akal dan wahyu harus diharmonisasikan.

Atas pemikiran filsafat yang dibawakan olehnya, Ibnu Rusyd dalam perjalanan hidupnya mengalami beberapa kali pengasingan yang dilakukan oleh pemerintah atas dasar bahwa ajaran yang dibawa oleh Ibnu Rusyd bertentangan dengan ajaran Islam. Dia pernah diasingkan ke Lucena kemudian kembali diasingkan ke Maroko hingga masa akhir hidupnya. Tidak hanya itu, karya-karya Ibnu Rusyd juga dibakar dan haram untuk dipelajari.

Pada bagian selanjutnya saya akan memaparkan lebih lanjut mengapa pemikiran dan karya Ibnu Rusyd ditolak di dunia Islam, kondisi Barat pada era kejayaan Islam, bagaimana perjumpaan awal Barat dengan peradaban Islam, mengapa Barat tertarik pada Ibnu Rusyd, dan mengapa Barat mulai meninggalkan Ibnu Rusyd pada akhir abad ke-17.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun