Mohon tunggu...
Mohamad Fauzan Naufal
Mohamad Fauzan Naufal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta Prodi Pendidikan Sosiologi

Anything But Here

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Covid-19 dan Dehumanisasi Pendidikan

22 Desember 2022   00:50 Diperbarui: 22 Desember 2022   02:05 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan yang jauh dari membebaskan; perlahan memenjarakan. Freire menyatakan bahwa pendidikan yang sejati membutuhkan dialog. Tapi, dialog bukan sekadar dua orang atau lebih berkomunikasi dan berkompromi. Di dalamnya juga harus ada kesetaraan. Dalam pendidikan dialogis, guru, murid, dan masyarakat sekitar adalah subjek setara yang mendialogkan hal-hal yang konkret, esensial, dan merefleksikan aspirasi semua orang.

Materi-materi yang dihadirkan yang semestinya memancing daya kritis, malah menghadirkan beban bagi siswa. Siswa menjadi seperti mesin mekanis (robot) yang "harus" menerima (menghafal) sejumlah materi yang diberikan tersebut -- tidak ada ruang kritis, kebebasan mengembangkan pendapat.

Paulo Freire melihat bahwa pendidikan gaya bank mencerminkan sebuah situasi ketertindasan, di mana terjadi dehumanisasi. Guru hadir sebagai sosok sentral (role model, subyek) yang harus diikuti oleh peserta didik (obyek). Perkataan dan perintah guru dianggap sebagi kebenaran yang harus selalu diikuti, tanpa boleh dibantah.

Melawan konteks pendidikan dehumanisasi ini, Paulo Freire memperjuangakan pendidikan yang membebaskan yang humanis sifatnya. Pendidikan humanis yang membebaskan menempatkan guru dan siswa dalam relasi ko-intensional (Freire dkk, 2009). Artinya guru dan murid hadir secara bersama-sama dalam dunia pendidikan sebagai "subjek-subjek", yang sama-sama bertindak terhadap kenyataan (sebagai objek).

Dalam konteks pembelajaran daring di masa pandemi, pendidikan humanis yang membebaskan Freire ini, sesungguhnya dapat menampik sistem masifikasi para siswa, karena kebergantungan secara berlebihan terhadap guru dan platform-platform yang digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran.

Pendidikan yang membebaskan Freire menciptakan relasi dua arah, relasi dialogal siswa dan guru. Siswa dan guru sama-sama ada dalam relasi ko-intensional untuk mengetahui sekaligus mengkritisi materi/relitas (objek) yang dipelajari. Melalui relasi yang dialogal (ko-intensional) ini, tentu terciptalah warna kebebasan dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang menjadi tujuan dari pendidikan humanis; manusia sejati adalah manusia yang bebas (Freire, 1984). Kebebasan yang memayungi pelaksanaan pembelajaran dalam dunia pendidikan, akan memampukan siswa dan juga guru dapat hadir dalam kreativitas (kritis-progresif) untuk memiliki atau pun mengembangkan pengetahuan yang dipelajari, tanpa ada bayangan "rasa takut" (Freire, 2007).

Untuk tujuan pendidikan humanis yang membebaskan, Paulo Freire menekankan akan pentingnya keberadaan konsientisasi (conscientization) atau kesadaran -- penyadaran (conscientazacao) yang menjadi inti dari pendidikan (Freire, 2007). Kesadaran dalam pendidikan humanis haruslah merupakan kesadaran yang kritis (critical consciousness) yang lebih menekankan pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.

Kesadaran ini tentu penting dalam konteks pembelajaran daring di tengah pandemi, yang terkungkung oleh sistem pemanfaatan sejumlah platform yang dehumanisasi. Guru dan siswa atau pun juga sejumlah pihak yang berkepentingan dalam pendidikan, harus kritis pada sistem dan situasi yang terjadi.

Perlu kembali kita mengingat bahwa pendidikan di Indonesia berakar pada gagasan-gagasan progresif. Pada awal abad ke-20, tahun-tahun revolusi kita melawan kolonialisme Belanda, Ki Hajar Dewantara (1962), yang diamini oleh banyak orang sebagai bapak pendidikan Indonesia, melalui sekolahnya Taman Siswa, tak hanya merangkul namun juga menanamkan nilai-nilai progresif yang sungguh melampaui zamannya.

Menyediakan pendidikan untuk masyarakat yang tak mampu, di mana selama periode ini pendidikan ditujukan untuk mereka yang mampu, darah biru atau keturunan Eropa. Begitu pula memberikan pendidikan kepada perempuan dengan harapan membebaskan mereka dari penjara patriarkal. Bahkan Ki Hajar Dewantara, dalam upayanya mendukung kesetaraan sosial, menghilangkan gelar 'Raden Mas' dari namanya yang bersumber dari pendidikan feodalistiknya.

Para pendidik harus mampu memberikan sebuah kesempatan untuk pendidikan yang memanusiakan dan membangun kesadaran kritis. Maksudnya, tidak hanya sekadar kritis dalam rangka untuk mengkritisi karena mampu, suatu hal yang berakar dari manifestasi ego, namun kembali mengutip Freire (1996), kritis agar dapat memiliki conscientization yang konteksual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun