Pembelajaran Online
Pandemic covid-19 saat ini telah melahirkan tatanan baru yang mengharuskan seluruh masyarakat, termasuk tenaga pendidik harus beradaptasi dalam mendidik anak. Anak yang telah menempuh pendidikan mulai sekolah menengah sampai perguruan tinggi merupakan remaja yang memiliki berbagai dinamika, sebagai akibat dari perkembangan psikologisnya sehingga mencari berbagai bentuk norma dalam diri maupuan masyarakat.
Pendidikan dan terkhususnya tenaga pendidik merasakan dampak signifikan akibat pandemic ini. Akibat peradaban dan pembaharuan kebijakan yang terjadi, peserta didik tidak lagi belajar di sekolah, tetapi cukup belajar di rumah dengan memakai system pembelajaran daring (online) jarak jauh. Agar pendidikan tetap berjalan. Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan dan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Dalam kebijakan tersebut dijelaskan bahwa pendidikan harus tetap dilakukan melalui perangkat computer, laptop, atau handphone yang terhubung dengan koneksi internet.
Konsep literasi digital saat ini diperkenalkan oleh Paul Gilster (19997). Istilahnya banyak kemungkinan arti dan mungkin sulit untuk membedakannya dari yang lain istilah literasi seperti literasi media, literasi computer, literasi internet dan sebagainya.Â
Seperti yang ditekankan oleh Gilster, literasi digital jauh lebih luas daripada penguasaan keterampilan teknis (Gilster 1997), dan Colin Lankshear dan Michele Knobel (2008) telah berusaha untuk memberikan keseluruhan definisi literasi digital sebagai "singkatan untuk berbagai praktik sosial dan konsepsi" terlibat dalam pembuatan makna yang dimediasi oleh teks yang diproduksi, diterima, didistribusikan, dipertukarkan, dll., melalui kodifikasi digital" (Lankshear dan Knobel 2008). Â Singkatnya Literasi digital merupakan proses menerima, mencari, mengelola suatu informasi atau pengetahuan yang didapat dari media digital untuk menciptakan dan melakukan tindakan sosial yang konstruktif dalam prosesnya.
ISI
Teknologi digital memudahkan manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya dalam kehidupan sehari hari. Namun sayangnya teknologi bukan hanya dapat membantu kita untuk dapat berkembang, namun juga bisa menjerumuskan kita pada jurang kehancuran, seperti maraknya berita-berita yang di penuhi ujaran kebencian, berita hoax, maupun doktrin radikalisme serta beraneka macam penipuan digital.Â
Sebagai masyarakat dengan ekosistem digital yang semakin pesat seperti ini, tentunya hanya bisa di tangkal dan membawa dampak yang positif bagi diri jika kita membangun kesadaran dan pengetahuan dari tiap individu untuk dapat meningkatkan kemampuan literasi digital dan dengan pikiran yang kritis.Â
Penting untuk diingat bahwa konsep pendidikan dan institusi kritis bukan hanya ditunjukan untuk para siswa.Â
Buku Pedagogi Kaum Tertindas kalangan Paulo Freire (1970), dengan konsep pedagogi kritis yang ia jabarkan di dalamnya sejalan dengan konsep literasi digital yang sebelumnya penulis jabarkan.Â
Ketika kompetensi digital didefinisikan sehubungan dengan pengembangan professional guru, konsep tersebut dipertimbangkan sehubungan dengan kemampuan individu guru untuk menanamkan pedagogi kritis ke dalam kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan pengembangan pengetahuan dan pemahaman siswa (Krumsvik,2009).Â
Ini bukan hanya sekadar ditujukan untuk melihat informasi pengetahuan apa yang benar dan yang salah, namun untuk mempertemukan kedua pengetahuan dengan harapan memunculkan pemahaman atau pengetahuan baru bagi siswa maupun para pendidik tentang masalah yang mereka sedang angkat.Â
Maka dari itu, untuk membantu masyarakat memisahkan berita yang benar dan tidak, kemampuan bernalar kritis juga harus di bangun untuk mendorong masyarakat untuk berfikir kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya. Kita dapat mengacu pada pemikiran sosiolog C. Wright Mills (19590 tentang konsep imaginasi sosiologis.Â
Melalui imajinasi sosiologis dapat membantu individu memahami hubungan antara pengalaman kedidupan kesehariannya dengan struktur sosial dalam masyarakatnya. "adalah pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis" Paulo Freire (1973). Ia kemudian menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan peran mereka dalam konteks spsio-politiknya. Yang diharapkan oleh Freire akan sebuah pendidikan yang reflektif agar terbentuknya dan meningkatnya sebuah kapasitas kritis untuk memilih.
DAFTAR PUSTAKA
Spante, Maria; Hashemi, Sylvana Sofkova; Lundin, Mona; Algers, Anne. (2018). Digital competence and digital literacy in higher education research: Systematic review of concept use. Cogent Education. https://doi.org/10.1080/2331186X.2018.1519143
Julian McDougnal, Mark Readman & Philip Wilkinson (2018) The uses of (digital) literacy, Learning, Media and Technology, 43:3, 263-279, DOI: 10.1080/17439884.2018.1462206. https://doi.org/10.1080/17439884.2018.1462206
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York : The Cntinuum International Publishing Group.
Mills, C. W. (1959). Sociological Imagination. New York: Oxford University Press
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H