Mohon tunggu...
Mohamad Faisal
Mohamad Faisal Mohon Tunggu... Guru - Guru Matematika

Saya seorang guru di sekolah swasta, mempunyai tugas tambahan sebagai kepala sekolah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

5 Oktober 2024   13:32 Diperbarui: 5 Oktober 2024   13:34 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui tahapan mulai dari diri hingga demonstrasi kontekstual di modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik. Saya mendapatkan pemahaman dan pengalaman melalui belajar mandiri, diskusi dan praktik terkait paradigma berpikir coaching yaitu berfokus pada coachee, bersikap terbuka dan ingin tahu, memiliki kesadaran diri yang kuat, dan mampu melihat peluang baru dan masa depan. Kemudian juga memahami prinsip berpikir coaching, yaitu kemitraan, proses kreatif, dan memaksimalkan potensi. 

Selain hal tersebut terdapat kompetensi inti coaching yang harus dimiliki atau dikuasai oleh CGP yaitu, kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kemudian yang tidak kalah penting ada mendengarkan dengan RASA, yaitu Receive: menerima dan mendengarkan kata kunci, Appreciate: memberi apresiasi/sinyal mendengarkan, Summarize: rangkum kata kunci, dan Ask: mengajukan pertanyaan.

Percakapan berbasis coaching menggunakan alur TIRTA yaitu, Tujuan, Identifikasi, Rencana, dan Tanggung jawab. Kemudian dalam pelaksanaan supervisi akademik terdapat 3 tahapan, yaitu pra observasi, observasi, dan pasca observasi. Harapan dari pelaksanaan coaching untuk supervisi akademik ini akan meningkatkan kualitas pembelajaran, pengembangan dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh guru/coachee dalam mencapai tujuan pembelajaran yang berpusat pada murid.

Setelah mempelajari madul 2.3, saya mengingat kembali kegiatan supervisi/observasi bersama kepala sekolah. Akhirnya saya mengerti bahwa langkah-langkah yang kepala sekolah lakukan mulai dari kegiatan pra observasi sampai pasca observasi menggunakan paradigma dan prinsip coaching. Berdasarkan pengalaman tersebut saya menjadi paham dan merasa optimis dalam menerapkan coaching saat melaksanakan supervisi akademik dengan rekan sejawat maupun pendampingan dengan murid.

Hal yang sudah berjalan dengan baik selama proses belajar adalah sesama rekan CGP saling memberi semangat dan giat berlatih praktik coaching, baik dalam ruang kolaborasi maupun diskusi di luar jadwal untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam penerapan TIRTA, Prinsip Coaching, dan mendengarkan dengan RASA. Kemudian dalam tugas demonstrasi kontekstual secara bergantian melaksanakan praktik coaching secara triad atau berganti peran sebagai supervisor, coach maupun coachee yang membuat kami merasakan pengalaman di berbagai posisi tersebut. Kemudian masukan dan saran perbaikan dari fasilitator dan pengajar praktik yang membangun, membuat saya semakin percaya diri dalam melakukan praktik coaching.

Hal yang perlu saya perbaiki terkait dengan keterlibatan dalam proses belajar, yaitu saat saya berperan sebagai coach, terkadang secara tidak sadar dapat memberi asumsi pribadi, mengaitkan dengan pengalaman pribadi, atau mengarahkan coachee dalam menemukan solusinya padahal tindakan tersebut harus dihindari atau tidak dilakukan. Kemudian saya harus mampu membuat pertanyaan terbuka yang berbobot agar mampu mengarahkan coachee untuk menggali solusi dan mencapai tujuan coaching melalui proses mendengarkan dengan RASA. Kemudian juga terkait hadir sepenuhnya dan membangun kedekatan agar coachee mau terbuka dalam bercerita.

Adapun keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi setelah mempelajari modul 2.3, saya mampu meningkatkan kompetensi coaching dengan menggunakan alur TIRTA. Bagi saya pribadi yang merupakan seorang introvert, tentu berbicara atau berdiskusi dengan orang lain merupakan hal yang diluar kebiasaan saya sehari-hari. Namun disini saya terus dilatih untuk dapat berkolaborasi, berdiskusi, memberi pendapat, dan berefleksi sehingga hal tersebut membuat saya lebih semangat untuk terus mengembangkan potensi, kompetensi sosial dan emosional yang saya miliki. Proses ini akan saya ikuti dengan sebaik-baiknya agar tujuan dalam mengikuti program guru penggerak ini dapat tercapai.

Mengapa guru harus memiliki kemampuan coaching?

Sesuai dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara bahwa tugas seorang guru adalah menuntun murid sesuai dengan kodratnya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Kata "Menuntun" disini sesuai dengan sistem among, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Senada dengan sistem among, dalam prinsip coaching guru memberikan tuntunan ke murid agar mereka tidak kehilangan arah dan menuntun mereka untuk menemukan potensi dirinya. Sebagai guru agar mampu mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, maka guru harus memiliki kompetensi coaching.

Proses coaching dengan alur TIRTA dapat dijadikan pedoman dan arahan oleh coach dalam memfasilitasi coachee untuk menyampaikan tujuan yang ingin didapatkan dari coaching serta mengidentifikasi permasalahan sampai menemukan rencana untuk solusi dari permasalahan tersebut. Melalui alur TIRTA coachee terlatih untuk berpikir terarah dan sistematis mulai dari apa yang ingin dicapai hingga apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks asal sekolah saya yaitu, ketika rekan sejawat/murid masih enggan bercerita terkait kendala atau hal yang dialaminya dengan jujur dan apa adanya dikarenakan belum terjalin kedekatan sebagai mitra dalam proses coaching tersebut. Sehingga coachee menjadi kesulitan dalam menemukan atau menentukan tujuan yang ingin dicapai. Keterampilan komunikasi yang efektif sebagai coach masih perlu ditingkatkan agar coachee mudah memahami maksud pertanyaan dan mudah memberikan tanggapan sehingga diskusi lebih berjalan baik.

Adapun alternatif solusi terhadap tantangan tersebut, yaitu sebelum melakukan coaching, coach tentu harus membuat suasana diskusi atau obrolan berlangsung hangat dan cair. Kemudian menjelaskan bahwa dalam proses coaching, coach dan coachee kedudukannya setara, tidak bermaksud menggurui ataupun menjadi seorang mentor. Kemudian coachee harus diberikan pemahaman dan menyusun terlebih dahulu tujuan coaching dilaksanakan serta coachee benar-benar ingin menemukan langkah-langkah perbaikan dari permasalahan yang dihadapi. Guru secara mandiri meningkatkan kemampuan komunikasi efektif bagaimana memberikan umpan balik dan pertanyaan terbuka yang berbobot sehingga mampu memfasilitasi coachee untuk menggali solusi.

Kemudian kegiatan supervisi akademik di masa lalu bagi saya pribadi merupakan kegiatan yang menegangkan dan kurang berdampak bagi peningkatan kompetensi yang saya miliki, karena setelah proses supervisi tidak terjadi dialog dua arah atau kesannya seperti dihakimi atau disidang ketika mendengarkan umpan balik dari kepala sekolah. Berbeda dengan kegiatan supervisi akademik atau observasi pembelajaran saat ini, khususnya setelah diterapkannya penilaian kinerja melalui aplikasi PMM, kepala sekolah mulai menerapkan prinsip coaching untuk supervisi akademik. 

Meskipun masih belum menerapkan alur TIRTA dengan sepenuhnya saat proses pra observasi dan pasca observasi, dimana guru/coachee di tahap pra observasi digali lebih dalam terkait apa tujuan yang ingin dicapainya dalam belajar dan upaya/strategi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga coachee atau supervisee benar-benar dalam kondisi siap dalam melaksanakan supervisi akademik. Kemudian di tahap pasca observasi guru/coachee diminta merefleksikan atau memberi penilaian sendiri dari proses observasi dan kemudian diberikan penguatan-penguatan berdasarkan apa yang menjadi fokus pengamatan supervisor. 

Saya juga pernah diberikan amanah untuk membantu kepala sekolah untuk melakukan observasi pembelajaran kepada beberapa rekan sejawat, namun karena keterbatasan pemahaman saya terkait coaching, yang saya lakukan adalah cenderung memberi solusi dari catatan proses pembelajaran kurang efektif, yang ternyata hal tersebut tidak tepat dilakukan oleh seorang supervisor/coach.

Setelah mempelajari modul 2.3 coaching untuk supervisi akademik, saya akan terus belajar dan meningkatkan kompetensi coaching agar mampu melaksanakan supervisi akademik di sekolah sesuai dengan paradigma berpikir coaching dan mampu memberdayakan potensi yang ada pada diri guru/coachee.

Pada modul 2.1 saya belajar tentang pembelajaran berdiferensiasi yaitu pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid. Kebutuhan belajar murid paling tidak berdasarkan 3 aspek, yaitu minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar murid. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru mendesain pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar murid agar potensi murid mampu dikembangkan secara optimal. Hal ini sesuai atau erat kaitannya dengan praktik coaching. Sebagai seorang coach harus mampu mengoptimalkan potensi coachee untuk menemukan rencana solusi dari permasalahan menggunakan alur TIRTA dan kompetensi coaching yang sudah dimiliki oleh coach.

Kemudian di modul 2.2 saya belajar tentang pembelajaran sosial dan emosional, yaitu pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah agar memiliki kompetensi sosial emosional yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Dalam pembelajaran sosial dan emosional terdapat teknik STOP dan mindfulness yang dilakukan untuk membuat suasana lebih tenang dan kondusif. 

Sebagai seorang coach harus paham betul atau lebih peka terhadap kondisi dan situasi sebelum atau ketika proses coaching berlangsung agar berjalan dengan lancar dan sesuai tujuan. Kemudian melalui kompetensi sosial emosional (KSE) yang baik, coach dapat terhindar dari memberi asumsi, memberi label/judge atau memotong pembicaraan coacheenya. Begitu juga bagi coachee yang memiliki KSE yang matang dapat mengambil keputusan yang berdampak dengan benar dan komitmen dalam menindaklanjutinya.

Adapun sumber belajar atau informasi lain di luar modul PGP untuk menguatkan praktik coaching maupun supervisi akademik, dapat dilakukan dengan berdiskusi dan sharing pengalaman dengan kepala sekolah saat pelaksanaan supervisi. Kemudian juga berdiskusi dengan rekan CGP, Fasilitator dan Pengajar Praktik serta menonton praktik baik dari rekan-rekan CGP angkatan sebelumnya terkait proses/pelaksanaan coaching untuk supervisi akademik. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut saya menjadi lebih siap dan percaya diri serta memaksimalkan kemampuan diri untuk mempraktikan coaching ke rekan guru dan murid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun