Lebih ekstrim lagi permainan saat kecil adalah mandi di sungai saat banjir. Air yang deras dimanfaatkan untuk bermain prau-prauan memakai gedebog(pohon) pisang. Biasanya saat banjir banyak pohon pisang yang tumbang atau rusak terkena deras arus sungai. Nah pohon ini yang dimanfaatkan untuk membuat prau-prauan.
Caranya pohon pisang ditebang terlebih dahulu. Biasanya salah satu dari kami ada yang bawa golok atau arit. Batang yang digunakan hanya batang bawah saja yang kelihatan agak besar. Kulit atau pelepah paling luar dibuang, sehingga nampak batang pohon yang putih dan mulus.Â
Beberapa batang pohon pisang tadi dijajar disusun kemudian dirangkai dengan ranting kayu. Mengambil ranting kayu yang agak besar kemudian ujung ranting tadi dilancipkan. Dari salah satu sisi kanan dipakukan hingga menembus semua batang. begitu juga dari sisi kiri dipaku dengan ranting pohon hingga menembus sisi paling luar. Biasanya kami hanya merangkai tiga hingga empat batang pohon. Kadang juga kami hanya berbekal satu pohon pisang saja.
Dari arah yang disepakati kami semua bermain dan membagi tugas. Ada yang bertugas membawa baju , biasanya tugas ini diserahkan kepada anak yang usianya paling muda. Anak-anak yang yang sudah besar memandu kami bermain dan berlayar hingga suatu titik yang dianggap paling jauh. Karena kami juga harus memperhitungkan jalan baliknya.Â
Sudah bisa dipastikan selepas bermain dus-dusan kami lapar. Untuk memnuhi rasa lapar ini kami mengambil apa saja dalam perjalanan untuk di makan. Pisang mentah atau ketela pohon mentah atau kacang panjang pun menjadi santapan yang sangat istemewa bagi kami. Terung mentah segar yang masih menggantung juga oke, apalagi mentimun, woww.
Kalau dalam pencarian makanan tidak menemukan yang bebas ambil, terpaksa kami mengambil kacang panjang atau jeruk milik orang. Kami berusaha untuk mencari buah jeruk yang jatuh terlebih dahulu. kalau setelah berputar-putar tak menemukan buah yang jatuh terpaksa tangan menyenggol buah yang sudah kuning agar jatuh. kalau tak ada buah yang kuning terpaksa kami meminta kepada pemiliknya. Tapi pemiliknya tidak ada ada.
Nah ini yang sering kami lakukan. Kalau pemilik kebun  atau lahan tidak ada di lokasi, kami punya cara tersendiri. Dengan agak keras kami meminta buah miliknya. Terus permintaan tadi kami jawab sendiri. Setelah itu tengok kanan kiri depan belakang, petik-petik-petik, lariiiiiiiii.
Nah itulah certita masa kecilku. Suatu saat akan aku sambung . Bagaimana cerita masa kecilmu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H