Nabi Muhammad tak pernah bermaksud membuat Kota Madinah (tadinya Yasrib) tanpa tujuan. Madnah yang berarti "kota" berasal dari akar kata yang sama dengan "madaniyah" dan "tamaddun" yang artinya peradaban. Civilization dalam bahasa Inggris. Dan karena itu secara harfiah "madnah" adalah tempat peradaban atau suatu lingkup hidup yang ber-adab (kesopanan, "civility"), tidak "liar".
Nurcholish Madjid (Cak Nur) tidak cukup sekali mengagumi nilai-nilai keadaban dalam Piagam Madinah yang dibuat Nabi. Sebagai sebuah konstitusi yang disepakati kala itu, juga telah dipandang oleh Robert N Bella, terlampau mendahului zamannya dan teramat modern di masanya. Madinah adalah kota yang diimajinasikan Nabi untuk menjadi antitesa dari pola kehidupan masyarakat baduy yang hidup "liar" dan jauh dari peradaban.
Semua elemen masyarakat, mulai elite pemerintah, politisi, konglomerat, agamawan, hingga warga negara biasa, mesti melakukan Isra. Yaitu kontemplasi dan perenungan pada malam hari atas kondisi riil masyarakat yang tengah dihadapi. Dan dalam pada waktu itu juga, upaya Mikraj perlu dilakukan. Yaitu meningkatkan ibadah formal agar lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Sekali lagi, spirit Isra dan Mikraj harus kita terjemahkan kedalam kehidupan nyata. Sebab ikhtirah nyata mendialogkan keduanya akan melahirkan manusia yang unggul dan berkemajuan. Perenungan yang mendalam (Isra) terhadap realitas emperik sangat mungkin melahirkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang baru, yang bermanfaat bagi bangsa ini. Dan penyucian batin melalui ibadah-ibadah formal (Mikraj) bisa jadi akan menyelamatkan kita dan bangsa ini dari segala macam bencana dan musibah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H