Akhirnya artikel ke 330 berjudul "Fobia Sosial, Social Anxiety Disorder yang Menyebalkan" masuk juga menjadi artikel utama setelah dua hari nongkrong di Kompasiana. Artikel ini menggenapkan artikel utama saya pada angka 100. Saya sampaikan terima kasih kepada admin Kompasiana yang telah menggenapkan angka tersebut.
Dalam lingkaran Kompasiana, 100 artikel utama tentu tidak dapat disebut pencapaian tertinggi dalam lingkup sebuah blog raksasa. Angka 100 hanya secuil tulisan dari suatu arus besar artikel yang di dalamnya terus mengalir setiap hari.
Menuju angka 100, bagi penulis profesional tentu menjadi hal yang mudah. Tidak bagi saya. Pencapaian 100 artikel utama membutuhkan waktu dan kerja keras. Bagi penulis amatiran seperti saya, angka 100 menjadi sesuatu yang istimewa. Maka, seperti ada sehembus angin lembut yang memberikan secuil kepuasan atau (mungkin) kenyamanan yang menyertai turunnya hujan di awal musim.
Berbicara tentang angka 100 kita dapat memaknainya dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Ia dapat menjadi sesuatu yang istimewa, standar apa adanya, atau bisa juga sebagai hal yang remeh.
100 sebagai Nilai Keunggulan
Angka 100 dalam skala penilaian kerap ditempatkan sebagai bilangan istimewa. Dalam rentang nilai 0-100, angka ini terlihat "sexy" dan begitu sempurna. Nilai 100 menggambarkan sesuatu yang memiliki kualitas (seakan) tanpa cela.
Bagi seorang siswa, nilai 100 merupakan pencapaian hasil belajar yang sangat memuaskan. Kita semua pernah pada masanya merasa begitu bangga ketika guru memberikan nilai 100 karena berhasil menyelesaikan soal ulangan, tugas, atau pekerjaan rumah dengan benar tanpa kesalahan.
Sebagai sebuah kesempurnaan, 100 melambangkan highest achievement (prestasi tertinggi). Angka 100 berarti telah memenuhi syarat atas keseluruhan indikator pencapaian yang telah ditetapkan. Nilai 100 adalah idaman bagi para pemuja keunggulan dan pecinta keberhasilan total.
Sebagai prestasi tertinggi, di balik angka 100 ada proses yang melibatkan upaya dan pengorbanan. Angka ini menyiratkan semangat dan kerja keras. Di dalam angka idaman itu dapat dipastikan ada keterlibatan sikap kompetitif dan pantang menyerah. Mereka yang berhasil mencapai nilai dengan angka 100 telah membuktikan bahwa mereka memiliki energi besar untuk membangun ambisi dalam mencapai keberhasilan.
100 Cermin Kejujuran
Angka 100 sering dipergunakan sebagai bagian dari frasa "Keep it a hundred" atau "tetaplah menjadi 100". Frasa ini merupakan metafora dari dari ungkapan "kejujuran".
Dikutip dari Wikipedia, "Keep it 100" pernah digunakan pada salah satu segmen dari acara The Nightly Show di sebuah stasiun televisi Amerika Serikat yang dipandu oleh Lary Wilmore. Acara ini merupakan acara bincang humor tengah malam bersama tokoh-tokoh ternama dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari artis, atlet, sampai politisi.
Pada segmen terakhir dari The Nightly Show, Wilmore mengajukan pertanyaan menantang kepada tamunya untuk menjawab pertanyaan dengan jujur. Pada segmen ini dia mengajukan pertanyaan provokatif kepada tamunya untuk dijawab sesuai dengan kata hatinya, fakta, atau opini pribadi secara murni.
Tamu yang dinilai telah menjawab dengan autentik, baik oleh Wilmore maupun audiens studionya, akan diberi stiker "Keep it 100". Sedangkan tamu yang menjawab dengan ekspresi yang tidak meyakinkan akan diganjar dengan sekantong teh. Hal ini pernah dialami Senator Cory Booker saat ditanya tentang kemungkinan untuk mencalonkan dirinya sebagai presiden. Jawaban Cory yang tidak meyakinkan itu membuatnya mendapatkan sekantong teh.
Kejujuran dalam "keep it 100" menuntut seseorang berbicara apa adanya dan tidak mendustai diri sendiri. Semangat kejujuran berarti melepaskan diri dari topeng kemunafikan.
Kejujuran merupakan pondasi paling penting dalam membangun kepercayaan antar pribadi, membangun hubungan profesional, dan hunungan sosial. Kejujuran merupakan cermin integritas seseorang karena membuktikan bahwa yang bersangkutan memiliki prinsip dan nilai peribadi yang kuat.
100 Mewakili Hal yang Remeh
Anak-anak yang tumbuh di era 1980-1990 tentu sangat akrab dengan serial film si Unyil yang tayang setiap akhir pekan di TVRI. Dalam serial itu salah seorang tokoh yang selalu dikenang adalah Pak Ogah. Tokoh tuna karya itu menggunakan kata "cepek" pada hampir semua dialognya. Pak Ogah sering mengucapkannya saat seseorang melintas di depan pos ronda, tempat dia menghabiskan hari-hari malasnya.
"Cepek dulu dong!," kata tokoh dengan kepala botak yang mewakili sifat pemalas itu.
"Cepek" merupakan istilah yang diambil dari bahasa Mandarin dialek Hokkian. Kata ini secara literal merujuk kepada bilangan 100 atau uang seratus rupiah.
Pada masa itu uang seratus rupiah merupakan jajan yang sangat kecil. Kata "cepek" seringkali digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap memiliki nilai yang sangat kecil atau minimal. Ini bisa merujuk pada upaya, imbalan yang kecil, atau bahkan sesuatu yang mudah didapat.
Cepek bisa juga bermakna sesuatu yang mudah didapatkan. Hal ini berarti bahwa cepek atau 100 dapat mewakili sesuatu yang tidak terlalu berharga, tidak memerlukan usaha yang besar.
Angka 100 dalam makna yang lain dapat diandaikan sebagai sebuah keterbatasan atau kekurangan. Ketika seseorang menyebut "hanya cepek", ini dapat berarti bahwa dia memiliki uang yang tidak banyak. Karena nilainya yang kecil, "cepek" sering diidentikkan dengan sesuatu yang mudah didapat atau diperoleh. Ini bisa menjadi simbol dari sesuatu yang tidak terlalu berharga atau tidak memerlukan usaha yang besar.
Cepek atau 100 menjadi simbol keterbatasan atau kekurangan. Misalnya, ketika seseorang mengatakan "hanya punya cepek", ini bisa berarti bahwa orang tersebut tidak memiliki uang yang banyak.
Refleksi angka 100 (artikel utama)
Pencapaian merupakan hasil yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang. Pencapaian itu tidak selalu identik dengan kesempurnaan. Setiap orang memiliki tingkat pencapaian yang berbeda.
Pencapaian bisa meliputi satu atau lebih tujuan atau sasaran dan target tetentu, meningkatnya kemampuan atau keterampilan, prestasi, dan lain-lain. ini berarti, 100 artikel utama dapat diklaim sebagai sebuah pencapaian.
Dalam konteks 100 artikel utama, pencapaian itu terwujud dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak saya bergabung tanggal 09 Januari 2022. Jika dibulatkan ke bilangan ribuan terdekat, saya sudah menjadi bagian dari Kompasiana selama 1000 hari. Dalam rentang waktu itu, artikel yang dapat saya hasilkan 331 (tidak termasuk artikel ini).
Berdasarkan hubungan antara angka-angka di atas dapat menjelaskan bahwa saya hanya mampu menghasilkan rerata 1 artikel utama setiap 10 hari. Pada saat yang sama, saya hanya dapat menghasilkan sebuah artikel setiap 3 hari. Angka statistik tersebut tentu tidak dapat disebut produktif.
Namun, bagi saya, Kompasiana menjadi sebuah ruang yang memberikan perspektif yang sangat luas dalam melihat sebuah persoalan. Memaknai angka 100, misalnya, dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang.
Secara pribadi, pencapaian 100 artikel utama dalam rentang waktu 34 bulan merupakan perjalanan panjang. Dalam perjalanan panjang angka 100 tidak akan pernah mencapai titik akhir. Setiap kali kita berada pada sebuah pencapaian yang dianggap sempurna, pasti ada sisi lain keteidaksempurnaan yang perlu disempurnakan.
Lombok Timur, 09 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H