Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bersepeda, Sisi Lain di Balik Rasa Lelah

6 Oktober 2024   10:27 Diperbarui: 6 Oktober 2024   12:00 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersepeda pulang dari sekolah (Dokpri)

Memulai kebiasaan baru memang berat. Apalagi ketika sudah terbiasa hidup tanpa aktivitas fisik yang cukup berarti.

Itulah yang saya rasakan dalam seminggu terakhir ini saat pergi sekolah. Jika minggu tak terhitung sebelumnya saya pergi ke sekolah menggunakan kendaraan bermotor, dalam seminggu terakhir ini saya beralih menggunakan sepeda. 

Sebagai pesepeda dadakan, bagi saya bersepeda ke sekolah cukup berat. Padahal jarak perjalanan yang harus saya tempuh hanya sekitar 2 km. Karena tidak terbiasa, bersepeda memaksa saya harus berjuang keras beradaptasi dengan pola baru berkendara. Jika sebelumnya saya memerlukan energi dari BBM, dengan bersepeda saya harus menguras energi fisik saya sendiri untuk sampai di sekolah.

Sebenarnya jalan menuju sekolah secara keseluruhan relatif datar. Kecuali di beberapa titik, jalan kampung itu berupa tanjakan kecil. Tantangan bersepeda bagi saya terletak pada kondisi sebagian besar jalan yang kurang bersahabat. Memang tidak seluruhnya. Sekitar 500 meter salah satu ruas jalan yang saya lalui sudah dilapisi hotmix.

Selebihnya ruas jalan itu temasuk sangat rusak dan memprihatinkan. Kerusakannya sudah mencapai keparahan yang mendekati sempurna. Sekujur badan jalan compang-camping. Kerikil berserakan pada permukaan jalan. Keadaan itu berpotensi membuat roda terpeleset. Permukaan jalan yang bergelombang membuat pengguna harus hati-hati dan memilih mengarahkan roda ke bagian jalan yang lebih baik. Maka tidak jarang pengendara harus mengambil jalur orang lain untuk mencari kenyamanan berkendara.

Jalan itu memang telah mengalami pengaspalan (mungkin) 7 atau 8 tahun yang lalu menggunakan aspal cair. Orang-orang di kampung saya menyebutnya dengan aspal serabi. Disebut demikian karena proses pengaspalan dilakukan dengan cara disiram dengan aspal cair yang sedang menididh setelah permukaan jalan dilapisi sirtu (pasir dan batu). Teknik ini mirip dengan penyiraman cairan gula merah di atas hamparan serabi yang telah dibubuhi parutan kelapa.

Kerusakan jalan tergolong cepat dalam rentang 7-8 tahun. Padahal idealnya kelayakan jalan aspal bisa bertahan sampai 18 tahun jika pengaspalan sesuai dengan prosedur yang benar. (Sumber www.ayresassociates.com) 

Saya menduga bahwa pemicu yang mempercepat kerusakan jalan disebabkan oleh teknik pengaspalan yang asal-asalan tanpa melibatkan standar yang jelas. Misalnya, lapisan aspal seadanya atau timbunan pasir dan kerikil yang tipis dan kurang padat. 

Kerusakan itu tidak saja dipercepat oleh teknik pengaspalan. Penyebab lainnya dipengaruhi oleh kondisi drainase yang buruk di kiri kanan jalan. Drainase itu terlalu dangkal dan tidak terpelihara. Kebiasaan warga membuang sampah ke selokan dan rumput liar yang tumbuh di dalamnya membuat saluran tersumbat. Sumbatan drainase itu menyebabkan aliran air meluap ke punggung jalan. Luapannya lambat laun berakibat pada pengikisan tanah secara perlahan pada jalan yang tidak tertutup aspal di sisi kiri dan kanan jalan. 

Di balik kelembutannya ternyata air memiliki daya rusak yang luar biasa. Air saluran yang meluber ke jalanan lambat laun menyebabkan tanah tergerus sampai ke bawah aspal. Gerusan itu meninggalkan semacam ceruk di bawah lapisan aspal sehingga kehilangan tanah penopang. Ini membuat aspal runtuh ketika dilintasi kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun