Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghindari Sikap Tone Deaf, Berempati kepada Orang Tak Berempati

31 Agustus 2024   16:00 Diperbarui: 1 September 2024   09:09 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tone deaf (Sumber Kompas)

Sikap tone deaf dapat ditunjukkan oleh siapa saja dan kapan saja. Seorang guru mungkin tanpa sadar pernah tidak peduli dengan kesulitan seorang siswa yang tengah berjuang menyelesaikan tugas yang diberikan. Mungkin pernah ada dosen yang mencoret-coret draft skripsi seorang mahasiswanya tanpa memberikan bimbingan untuk memperbaikinya. 

Dalam kehidupan bertetangga, bisa jadi kita mungkin pernah bercengkrama atau memainkan music player dengan volume maksimal padahal tetangga sebelah sedang mengerang karena sakit gigi.

Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja pernah kita lakukan karena tone deaf--tidak adanya rasa empati terhadap masalah atau kesulitan orang lain.

Sekali saya pernah berhadapan dengan seorang teman yang tengah mengalami masalah yang cukup pelik dan berat. Panjang lebar dia menceritakan permasalahan yang tengah dihadapi.

Di akhir kisah, dengan kronologis yang begitu detail, kesimpulannya dia membutuhkan sejumlah uang dengan nilai yang mencapai ratusan juta rupiah. Itu angka yang terhitung sangat besar bagi saya. Dengan selembar sertifikat tanah sebagai jaminan saya diminta bantuan untuk menghubungi teman-teman yang mungkin memiliki tabungan. 

Saya mencoba menghubungi satu dua orang teman yang (mungkin) dapat memberikan petunjuk untuk mendapatkan pinjaman. Namun upaya saya kandas. Mendapatkan uang dengan nilai sebesar itu terasa mustahil dalam waktu satu dua hari. 

Dia terus-menerus mengulang ceritanya. Latar belakang cerita atas munculnya masalah yang dihadapinya membuat saya ikut merasakan beban yang dia alami. Maka saya berinisiatif menawarkan pinjaman uang yang mungkin dapat mengurangi masalahnya.

Jumlah uang itu tidak banyak. Namun setidaknya saya ingin membuktikan keberpihakan saya atas masalah yang sedang dia hadapi. Saat menawarkan pinjaman saya sudah mempermaklumkan bahwa uang itu merupakan persiapan biaya sekolah anak saya untuk keperluan mendadak. Hanya itulah yang dapat saya lakukan. Selebihnya dengan serius mendengarkan setiap detail masalahnya. 

Berbulan-bulan setelah pinjam-meminjam uang itu berlangsung kami hanya pernah bersua sekali. Jarak rumah yang dibatasi tiga wilayah kecamatan membuat kami sulit bertemu. 

Saya juga agak rikuh menghubunginya karena kuatir dia merasa ditagih walaupun sebenarnya saya sangat membutuhkan uang itu. Apalagi kondisi keuangan saya saat ini sedang bermasalah. Saya berharap uang itu bisa kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun