Sebut saja Dodi (maaf jika ada kesamaan nama). Dia masih kerabat dekat saya. Dodi sebaya dengan anak sulung saya, 21 tahun. Mereka sekelas saat masih duduk si bangku sekolah dasar. Ayah Dodi juga masih terhitung sepupu saya.
Kalau tidak salah Dodi tidak tamat SD. Dia keluar (sendiri) dari sekolah saat duduk di bangku kelas 6 SD beberapa bulan sebelum ujian akhir sekolah.
Sehari-hari Dodi bekerja sebagai sopir. Di usianya yang ke 21 tahun Dodi sudah menikah dua kali. Kedua pernikahannya mengalami kegagalan. Pernikahan Dodi yang pertama saat dia berumur sekitar 16 atau 17 tahun. Sedangkan pernikahan kedua mungkin setahun atau dua tahun setelahnya.
Dari dua kali pernikahannya, Dodi mendapatkan seorang anak dari istri kedua. Anak itu sekarang masih balita dan diasuh neneknya (Ibu Dodi).
Saat ini balita itu jelas belum memahami dia sedang hidup bersama siapa. Dalam perkembangannya anak itu akan tumbuh dan mulai mengenali dirinya, orang lain, dan lingkungannya. Satu hal yang pasti bahwa anak itu suatu saat akan mengajukan sederet pertanyaan, "Mengapa saya hidup bersama nenek?", "Mengapa saya tidak hidup bersama kedua ayah dan ibu sebagaimana anak-anak lain?", atau "Mmengapa ayah dan ibu berpisah dan meninggalkan saya?".
Jika dikaitkan dengan Undang-Undang No 16 tahun 2019 tentang perkawinan, usia pernikahan yang diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai 19 tahun. Artinya, pernikahan Dodi dengan istri pertama dan keduanya belum cukup umur untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Saat menikah mereka masih di bawah umur karena masih duduk di bangku SLTA.
Apa yang terjadi pada Dodi merupakan salah satu akibat pernikahan dini. Usia yang masih sangat belia tidak cukup memberikan kekuatan kepada mereka untuk hidup bersama. Ketidaksiapan itu membuat mereka tidak mampu melawan riak yang mengganggu batera rumah tangganya. Keputusan akhirnya adalah perceraian.
Perceraian merupakan dampak negatif pernikahan dini. Ingat. Ini hanya dampak awal. Selebihnya ada imbas jangka panjang jika pasangan itu telah memiliki anak. Dilansir dari laman Australian Family Lawyer, Michael Sheahan menulis bahwa perceraian dapat menjadi pengalaman traumatis bagi anak-anak. Perpisahan orang tua dapat dapat mengganggu keyakinan mereka yang paling berharga. Ini menyangkut fondasi kehidupan dalam hal ini hubungan orang tua dan anak.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada dampak psikologis yang ditimbulkan oleh keluarga yang terpecah. Ini sangat berpotensi memberikan pengaruh prestasi akademik dan kepribadian anak. Anak-anak akan mengalami tekanan emosional karena merasa hidup dalam ketidakpastian. Muaranya, akan membuat anak-anak mengalami kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi dalam menjalani kehidupan akademisnya.
Ini sedikit dari banyak alasan mengapa pernikahan dini perlu dicegah. Bayangkan jika banyak individu tumbuh dalam keluarga terbelah. Di masa depan sangat mungkin berakibat pada munculnya masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan mental, hingga sumber daya manusia yang rendah. Klimaks akan berdampak terhadap kualitas hidup sebuah bangsa.