Pada cerita lainnya, saya menemukan kisah kehidupan seorang bocahbersama orang tuanya dalam kemiskinan di kota besar yang penuh dengan kekejaman. Atau kisah seorang anak yang hidup sebatang kara dan tinggal di kolong langit tanpa rumah. Kisah-kisah haru seperti itu kerap membuat saya menitikkan air mata sendiri. Kisah-kisah pilu itu setidaknya dapat membangun empati kepada penderitaan sesama.
Banyak literatur menjelaskan bagaimana dahsyatnya dampak membaca dalam kehidupan seseorang. Septiaji dan Nisya (2023:8) mengklaim bahwa membaca cerita-cerita fiktif dipercaya dapat merangsang imajinasi dan mengasah kreativitas. Melalui membaca, secara umum, seseorang dapat memasuki dunia imajiner dan membantu meningkatkan keterampilan bahasa, memperkaya perbendaharaan kata, meningkatkan penguasaan tata bahasa, dan struiktur kalimat.
Lebih dari itu, membaca dapat membantu seseorang memahami persepektif, budaya, dan pengalaman hidup orang lain. Membaca dengan demikian dapat menumbuhkan sikap bijaksana dalam menanggapi sebuah persoalan.
Menjelajah dunia media sosial saat ini menunjukkan bahwa sebagian pengguna kerap menanggapi isu-isu yang berkembang tanpa disertai sikap bijaksana. Sebuah vidio Tiktok menayangkan seorang tokoh berpesan agar hidup tidak teralu banyak tidur. Seseorang menulis di kolom komentar, "Jangan pindah partai melulu Pak." Rupanya tokoh dalam video tersebut suka pindah partai.
Pertanyaannya, apa hubungannya pesan jangan banyak tidur dengan pindah partai? Bisa jadi komentar dalam video di atas hanya salah satu contoh bagaimana argumentum adhominem itu bekerja dalam pikiran seseorang. Sebuah upaya menyerang seseorang dalam suatu diskusi dengan mengabaikan substansi pembicaraan. Hal ini bisa jadi karena kurangnya budaya baca sebagai sarana untuk belajar menjadi lebih bijaksana.
Lombok Timur, 21 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H