Daun enau sebagai pembungkus bulayak digulung secara spiral dan dibentuk menyerupai silinder, tabung. Di dalamnya kemudian dimasukkan beras. Ujung gulungan itu direkatkan dengan lidi agar beras tidak keluar. Agar lebih kuat bulayak itu diikat lagi secara memanjang dengan tali dari bambu atau pelepah pisang yang telah kering. Bulayak mentah itu kemudian dimasak sebagaimana memasak lontong atau ketupat.
Bulayak berdasarkan kutipan dari laman Lombok Barat berarti memutar. Ini karena bulayak dibuka dengan cara diputar untuk melepaskan pembungkus daun enau.
Bulayak memiliki tekstur lembut dan terasa gurih. Bisa jadi dipengaruhi oleh penggunaan daun enau sebagai pembungkusnya. Baunya lebih harum dibandingkan lontong atau ketupat.
Bulayak disajikan dengan sate yang terbuat dari daging sapi, daging ayam, kambing, atau jeroan. Seperti pembuatan sate pada umumnya, bahan daging tersebut dipotong kecil-kecil lalu dirangkai dengan tusukan dari bambu dan tentu saja dibakar.
Ciri khas sate bulayak terletak pada bumbunya. Bahannya terbuat dari kacang tanah yang dibuat menjadi saus sate. Kacangnya disangrai, ditumbuk, lalu direbus bersama santan. Bumbu lainnya terdiri dari ketumbar, jintan, bawang, dan cabai.
Rasa pedas pada bumbu sate bulayak merupakan rasa paling dominan. Jika kebetulan Kompasianer berkunjung ke Lombok dan berniat mencicipi sate bulayak, siapkan tisu untuk menyeka ingus dan air mata karena gigitan rasa pedas.
Sate bulayak banyak ditemukan pada pusat-pusat wisata di daerah Lombok Barat, seperti, Suranadi, Sesaot, dan Kerandangan. Biasanya penjualan kuliner ini dekat dengan daerah yang memiliki banyak pohon enau. Di Lombok Timur, misalnya, warung sate bulayak mulai muncul di sekitar hutan wisata Joben yang dikenal memiliki banyak pohon aren.
Lombok Timur, 28 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H