Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pakaian Lebaran untuk Sekolah

21 April 2024   23:08 Diperbarui: 24 April 2024   19:08 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seragam sekolah dipajang di depan sebuah toko di Kauman, Kota Semarang, (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Ketika saya masuk kelas 1 Sekolah dasar tahun 1978, seingat saya tidak ada ketentuan mengenai pakaian seragam sekolah pada masa itu, khususnya di SD kampung saya. Saat itu saya masuk sekolah dengan pakaian lebaran. Hal yang sama ditunjukkan oleh sebagian anak-anak lainnya. 

Mengapa pakaian lebaran? Iya. Karena pada masa itu pakaian sebagian besar anak-anak hanya dibelikan saat lebaran. Bahkan pakaian itu bisa digunakan 2 sampai 3 kali lebaran.

Saat orang tua membelikan pakaian untuk anak, biasanya menggunakan ukuran jumbo. Alasannya, pakaian dengan ukuran longgar dan besar dapat dipakai sampai beberapa tahun seiring badan tumbuh besar. Apalagi pertumbuhan anak-anak pada kala itu lebih lambat dibanding anak-anak sekarang.

Satu hal yang lumrah adalah penggunaan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang untuk mengikat celana karena kancingnya sudah tanggal. Terkadang di bagian bokong celana itu telah berlubang sehingga membentuk seperti kaca mata karena sudah digunakan bertahun-tahun.

Pada masa itu anak-anak pergi ke sekolah dengan kaki telanjang. Kaki-kaki kecil berlari melintasi pematang sawah tanpa sepatu atau alas kaki. Nyeker. Maka tidak heran kaki-kaki itu menjadi kapalan. Kulit tapak kaki mengeras.

Sepatu menjadi barang sekunder dan sebagian besar menganggapnya sebagai barang mewah. Jika ada yang menggunakan sepatu akan menjadi pusat perhatian. Mata-mata akan memandang dengan penuh kagum. 

Anak-anak kerap bersimulasi menggunakan sepatu dari bunga pisang. Kelopak bunga pisang digunakan untuk membungkus kaki yang diikat dengan tali dari batang pisang. Dalam sepuluh sampai dua puluh langkah saja sepatu bunga pisang sudah terkoyak. Namun ini bagian yang menyenangkan.

Mengenai tas sekolah, sama dengan sepatu, tidak ada tas sekolah. Semua buku ditenteng dalam jepitan jemari. Kalau ada yang membawa buku dengan wadah tertentu, anak-anak menggunakan kantong plastik bekas kemasan sarung yang dibeli orang tuanya.

Saat saya duduk di kelas 4 atau 5 pakaian seragam sekolah mulai diberlakukan. Dilansir dari Detik, ketetapan seragam sekolah mulai diberlakukan sejak tahun 1980-an. Ketetapan situ meliputi seragam siswa SD, SMP, dan SMA. 

Seragam untuk SD ditetapkan dengan warna merah putih, putih biru untuk SMP, dan putih abu-abu untuk siswa SMA. Warna seragam sekolah di Indonesia diatur melalui Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 52 Tanggal 17 Maret 1982.

Sejak kebijakan mengenai hal ini diberlakukan, tidak dengan serta merta semua sekolah dapat menerapkan penggunaan pakaian seragam sekolah. Butuh bertahun-tahun sekolah di seluruh Indonesia dapat menerapkan secara utuh peraturan itu. 

Bagi sekolah di daerah pinggiran, penerapan seragam tersebut agak sulit dilakukan karena faktor daya beli masyarakat. Pada masa itu, jangankan untuk membeli seragam, untuk makan sehari-hari saja masih sulit.

Belakangan netizen ramai dengan isu perubahan ketentuan seragam sekolah. Sudah menjadi kebiasaan warganet bahwa setiap kali ada kebijakan pemerintah yang baru dan dianggap memberatkan, sebagian besar akan memberikan respon spontan tanpa menelaah terlebih dahulu kebenaran konten informasi tersebut.

Melalui akun instargramnya, Mendikbud mengklarifikasi bahwa pemberitaan yang beredar tidak benar, sebagaimana dilansir dari laman RRI. Namun pemberitaan tersebut itu telah membuat warganet termakan isu. 

Kompasianer tentu tahu gaya netizen Indonesia merespon sebuah isu yang dipandang memberatkan masyarakat. Sebagian akan merasa dizalimi. Para kreator konten lalu memanfaatkan situasi ini untuk membuat konten dengan harapan mendapatkan tumpukan viewer dan gunungan rating.

Seorang ibu pedagang pakaian menjadikan isu seragam itu menjadi konten dalam sebuah video TikTok yang diunggah oleh akun @abimanews. Pedagang itu juga rupanya terlanjur mengunyah isu kebijakan pakaian seragam. 

Sembari mengaku pusing, dengan menunjukkan barang dagangannya berupa tumpukan pakaian seragam sekolah di tokonya, dia mempertanyakan kebijakan Nadiem dengan peraturan baru itu sampai menyatakan bahwa yang harus diganti bukan seragamnya tetapi menterinya.

Respon terhadap video TikTok itu juga sama. Dari sekian banyak komentar, sebagian besar setuju dengan pernyataan ibu itu. Terlihat hanya beberapa orang saja yang menyarankan untuk mencari informasi yang benar. 

Rupanya sebagian besar netizen menanggapi isu seragam itu tanpa menghiraukan kebenaran adanya perubahan atau apa saja yang mengalami perubahan. Seorang content creator channel lainnya terkesan melemparkan polemik itu hanya untuk mendapatkan viewer dan rating semata.  (Selengkapnya dapat ditonton di sini)

Seragam dan proses pembelajaran memang tidak memiliki relevansi secara langsung. Seorang anak dapat mengikuti proses belajar dengan baik walaupun tanpa mengenakan seragam. Dalam sudut pandang tertentu, sama sekali tidak ada pengaruh langsung proses pembelajaran dengan pakaian seragam.

Walaupun demikian, satu hal yang patut diingat bahwa seragam sekolah bukanlah sesuatu tidak bermanfaat sama sekali. Salah satu fungsi seragam dalam hal ini adalah sebagai sebagai identitas sekolah atau secara umum untuk membedakan antara anak-anak sekolah dan tidak sekolah. 

Secara internal, dengan mengenakan seragam sekolah anak-anak akan dapat dikenali oleh gurunya. Jika anak-anak itu berkeliaran saat jam sekolah akan memungkinkan dapat dikontrol oleh sekolah dan masyarakat.

Manfaat lainnya, penggunaan seragam sekolah dapat membentuk disiplin peserta didik dalam berpakaian terutama anak-anak pada jenjang sekolah dasar. Anak-anak akan terbiasa menggunakan pakaian sesuai peruntukannya. Setidaknya mereka dapat membedakan kapan menggunakan pakaian sekolah, bermain, atau saat melakukan kegiatan tertentu.

Pakaian seragam dapat juga memberikan persepsi kesetaraan. Sebuah sekolah pada umumnya berasal dari kelas sosial yang bervariasi. Mereka bisa berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga menengah, atau dari keluarga kaya. 

Penggunaan pakaian seragam sekolah kemungkinan dapat meminimalisir kelas sosial atau membangun persepsi bahwa setiap peserta didik merasa memiliki persamaan hak untuk mendapatkan untuk mendapatkan pelayanan. Seragam sekolah dapat mencegah adanya privilege.

Seragam tentu bukan satu-satunya simbol yang dapat menumbuhkan kesetaraan dan mengurangi kesan kelas sosial. Kehidupan sosial di sekolah dengan mengenakan pakaian yang seragam sedikit tidak dapat menganulir perbedaan siswa kaya dan siswa kurang mampu.

Lombok Timur, 21 April 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun