Pardi memilih meninggalkan kampung halamannya. Dia pergi ke kota dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik.
Kedatangannya di kota ternyata tidak sebagaimana yang tergambar dalam impiannya. Di kota Pardi pernah menggelandang, tidur di kolong jembatan, mendengkur di emper toko, atau meringkuk pulas di sudut terminal.
Kehidupan kota ternyata lebih kejam dari yang dibayangkan. Di kampung dia bisa masih memiliki tetangga yang berbaik hati memberikannya makan walaupun tidak rutin. Di kota tidak ada belas kasihan.
Pardi harus bekerja keras. Semua dilakukannya. Pardi berjualan asongan, pemulung, tukang parkir, menjadi buruh pasar atau terminal. Kehidupan kota yang keras menuntutnya harus melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan, mencopet. Karena ini dia pernah dipenjara.
Tidak jarang Pardi harus bertahan dengan mengandalkan kekuatan bogem dan tendangan agar tetap survive di kehidupan terminal yang keras. Persaingan antar kelompok membuatnya harus berani membuktikan diri sebagai orang yang kuat.
Kehidupan jalanan membuat Pardi melakukan apa saja. Hasil kerjanya sering harus ludes dalam hempasan kartu domino atau permainan remi dengan sesama.
Pada akhirnya Pardi lelah dengan kehidupan liar. Dia pulang kampung dan menikah. Kehidupan normalpun dijalaninya. Di kampung, Pardi berjualan kelilimg. Apa saja diperjualbelikan mulai dari arloji, pakaian bekas, radio, kipas, dan segala sesuatu yang memungkinkan untuk itu. Almarhum Ibu pernah membantu Pardi berjualan es dengan memberikan pinjaman modal.
Kini Pardi melabuhkan hidupnya di masjid. Setiap waktu sholat tiba Pardi mengumandangkan adzan dengan lengking suaranya yang khas. Suara itu tidaklah terlalu merdu. Bacaan adzan juga tidak terlalu fasih. Namun setidaknya suara itu telah berjasa mengingatkan warga di sekitar masjid bahwa waktu shalat telah tiba. Jika imam berhalangan, Pardi siap menjadi cadangan. Pardi sadar bahwa dia tidak patut menjadi imam dengan kemampuan baca al-Qur'an. Apa boleh buat. "Tak ada rotan akarpun jadi".
Dalam seminggu, dua sampai tiga kali Pardi membersihkan lantai masjid. Karpet masjid diangkat dan dijemur. Dengan teliti Pardi menggosok lantai masjid dengan alat pel yang dirancangnya sendiri. Kaca pintu dan jendela masjid juga tidak dibiarkan muram. Sebuah sapu bertangkai panjang digunakan untuk membersihkan sarang laba-laba atau debu di ketinggian dinding dan plafon masjid.
Kamar mandi dan tempat wudhu yang lembab kerap memicu tumbuhnya lumut. Keramik lantainya menjadi licin. Semua itu diantisipasi Pardi. Secara berkala lantai dan dinding yang terbuat dari keramik itu digosok dan dibersihkan.
Pardi melakukannya dengan ikhlas. Katanya, "Mudah-mudahan ini dapat menebus dosa saya di masa lalu."