Ramadhan bagi saya lebih nyaman dijalani di rumah saja. Saya dan sebagian besar orang dapat dipastikan lebih senang berbuka dan sahur bersama keluarga. Tarawih bersama warga di kampung atau di kompleks dapat memberikan kesempatan bersilaturahmi lebih intens dengan tetangga dan kerabat di sekitar.
Menjalani Ramadhan di rumah tentu saja terasa lebih hidmat daripada puasa dalam perjalanan. Dalam perjalanan kita berinteraksi dengan banyak orang. Dalam proses interaksi itu potensi munculnya masalah dengan orang lain bisa saja terjadi.
Kita bisa kesal karena tidak mendapatkan pelayanan yang diharapkan dari petugas di sebuah tempat. Anda bisa juga merasa gemas karena seseorang mendahului Anda di sebuah antrian. Rasa tidak nyaman dapat muncul ketika tidak mendapatkan makanan berbuka sesuai selera. Rasa kesepian juga bisa menjadi mewarnai suasana berbuka atau sahur karena tidak bersama keluarga.
Sayangnya, keinginan untuk terus berpuasa di rumah tidak selalu dapat dilakukan. Ada saat dimana kita dituntut melakukan sesuatu dan harus keluar dari rumah menuju daerah lain selama berhari-hari.
Rupanya saya harus meninggalkan rumah untuk beberapa hari ke depan dalam Ramadhan tahun ini. Saya mendapatkan undangan dari Kemendikbud Ristek RI untuk mengikuti advokasi program sekolah penggerak angkatan I. Kegiatan advokasi itu dilakukan di Jakarta dari tanggal 25 sampai 28 Maret 2024.
Ini termasuk pengalaman pertama saya berpuasa dalam perjalanan ke luar daerah setelah berkeluarga. Memang seperti anak-anak kuliahan pada umumnya, saya juga pernah menjalani ibadah puasa tanpa keluarga. Namun, situasinya mungkin agak berbeda karena dunia remaja yang cenderung merasa lebih bebas sehingga puasa di manapun tidak terlalu dipikirkan.
Berbeda dengan puasa saat kita sudah berada dalam fase yang lebih dewasa dan berumah tangga. Menjalani ibadah puasa rasanya lebih bermakna jika bersama keluarga.
Undangan itu tentu sesuatu yang luar biasa. Saya, bersama 3 sekolah lainnya dari Lombok Timur dan 140 sekolah dari berbagai daerah di Nusantara, diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Hal terpenting dari kegiatan itu tentu saja bukan tentang ibukota tetapi merupakan sebuah kesempatan untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta keterampilan diri melalui proses advokasi selama beberapa hari.
Beberapa hari harus meninggalkan rumah dan menjalani Ramadhan bagi saya ini agak berbeda (untuk tidak menyebutnya berat). Namun akhirnya saya berpikir bahwa ini cara yang cukup menantang untuk menjalani puasa Ramadhan sembari mengikuti sebuah kegiatan yang membutuhkan energi dan pikiran ekstra. Hal ini tentu akan bernilai ibadah yang lebih bermakna di sisi-Nya tinimbang menjalani puasa dengan rutinitas biasa.
Tantangan Kesabaran
Kita semua sepakat bahwa ibadah puasa Ramadhan identik dengan tadarus, shalat tarawih, qiyamullail sepertiga malam, atau zikir dan doa dalam setiap helaan napas. Namun tentu kita jangan lupa bahwa Ramadhan juga menantang kita untuk bertahan dalam kesabaran dan melawan tekanan yang bisa saja muncul dalam aktivitas tertentu.
Puasa Ramadhan dalam pengertian tertentu akan menjadi lebih berkualitas jika dijalani dengan tantangan-tantangan yang melatih kesabaran dan menumbuhkan kekuatan diri untuk menjalani aktivitas yang tidak biasa.
Dalam kondisi puasa Anda harus melakukan perjalanan jauh lalu mengikuti sebuah kegiatan sejak pagi hingga malam. Ini bagian dari tantangan Ramadhan yang tidak terelakkan. Dalam konteks pengendalian diri, ini membutuhkan kemampuan bersabar dan bertahan dalam situasi yang sulit.
Refleksi dalam Keramaian
Jika kembali kepada prinsip Ramadhan sebagai bulan refleksi, sejatinya Ramadhan merupakan bulan keheningan untuk melakukan perenungan tentang perjalanan hidup yang telah kita lewati. Ramadhan merupakan ruang yang memberikan kesempatan untuk melakukan kontemplasi atas keberadaan kita sebagai manusia.
Imam Masjid New York Imam Shamsi Ali menyebutkan bahwa Ramadhan memberikan tantangan untuk melakukan muhasabah (introspeksi) dan perenungan tentang berbagai hal. Ramadhan mengajak kita bertanya tentang siapa diri kita, dari mana, untuk apa, dan akan ke mana dalam perjalanan kesementaraan ini. Ramadhan mengajak kita untuk berpikir kembali tentang tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Proses perenungan itu dapat dilakukan tidak saja dalam keheningan malam, kesendirian, atau ketenangan rumah-rumah ibadah. Perenungan itu merupakan proses penyadaran kembali yang dapat dilakukan di manapun dan kapanpun. Introspeksi dan refleksi sesungguhnya dapat dilakukan dalam kebisingan mesin kendaraan atau riuh debat dan diskusi.
Ramadhan menantang kita untuk menghadirkan keheningan dalam keramaian agar dapat memaknai dan memandang setiap pengalaman hidup dengan cara yang selalu positif.
Lombok Timur, 24 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H