Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Bersyukur atas Rasa Syukur, Puncak Syukur Tertinggi

11 Maret 2024   13:20 Diperbarui: 11 Maret 2024   14:08 2424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersyukur atas rasa syukur, puncak syukur tertinggi (diolah dari Canva)

Syukur merupakan sebuah kata yang begitu gampang diucapkan. Sejauh lidah tidak kelu dan masih dapat berfungsi, kata “syukur” dapat dengan mudah meluncur. Kata itu dapat diucapkan oleh siapapun dari seseorang yang paling saleh sampai mereka yang disebut bejat. 

Saat mengalami kecelakaan kecil, misalnya, terjatuh dari motor dan mengalami luka ringan, kita akan mengatakan, “Syukurlah. Untung cuma luka pada lutut.”

Dalam situasi yang berbeda, saat seseorang mengalami kerugian dalam usaha, dia akan bilang, “Syukurlah, masih ada sisa modal”.

Pernyataan-pernyataan itu bersifat spontan tetapi memberikan gambaran bahwa sejatinya manusia memiliki sifat alami yang berusaha menerima kenikmatan yang masih tersisa.

Apa itu syukur. Dalam perspektif Islam, pengertian syukur merujuk kepada sikap pengakuan atau ungkapan terima kasih atas setiap kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Umat Islam meyakini bahwa setiap kenikmatan diperoleh semata-mata datang dari Allah SWT. 

Syukur dapat diandaikan sebagai penerimaan kita atas setiap pencapaian dan keadaan yang kita jalani. Dalam kalimat yang berbeda, syukur dapat diartikan sebagai pemaknaan secara positif tentang realitas yang kita hadapi. Rasa syukur adalah sebuah kondisi dimana dalam setiap kegagalan dan kesulitan, kita selalu melihat sisi positifnya tinimbang berpikir tentang sisi buruknya. 

Demikian juga saat mengalami kesuksesan, kita tidak akan menjadi jumawa dan menunjukkan kebanggaan berlebihan. Rasa syukur merupakan sebuah pilihan sikap untuk menerima dan menghargai setiap kebaikan dan kenikmatan yang telah menjadi milik kita.

Kenikmatan bukan saja tentang sesuatu yang bersifat kebendaan dan temporal. Kenikmatan bukan semata-mata tentang makanan yang lezat, pakaian yang gemerlap, jabatan mentereng, mobil mewah yang dapat membawamu ke mana saja, atau kenikmatan seksual saat bercinta dengan pasangan.

Kenikmatan dalam hal ini mengacu kepada kenikmatan tentang sesuatu yang lebih mendalam. Ia meliputi tentang cinta dan kasih sayang sejati, empati, kejujuran, tanggung jawab, dan nilai-nilai kebajikan yang masih mengakar dalam diri kita. Ini jauh lebih penting dari sesuatu yang bersifat fisik dan peripheral.

Coba saja bayangkan, kita berada dalam kenikmatan berupa gemerlap harta dan kemewahan tetapi tidak ada cinta, tidak ada kejujuran atau bahkan tidak ada empati kepada sesama. Apa yang harus disyukuri? Rasa syukur itu menjadi penting sehingga kita dapat melihat setiap keadaan tidak melulu dari sisi buruknya melainkan juga dari sisi hikmah dan kebaikan. Ketika kita sudah kehilangan rasa syukur apalagi yang tersisa? Kita akan melihat segala sesuatu yang kita miliki menjadi tidak berarti.

Dalam terminologi Al-Qur'an syukur sering dikontraskan dengan kufur ‘ingkar’, ‘penolakan’. Kufur dimaknai sebagai sikap seseorang yang tidak berterima kasih atas nikmat yang telah dirasakan. Ini tertuang dalam Al-Qur'an.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah [2]:152)

Pengertian syukur dalam ayat di atas sepintas hanya tentang hubungan manusia dengan Allah SWT. Hanya para ahli tafsir yang berhak memaknainya. 

Namun kita bisa sepakat bahwa syukur itu juga menyangkut hubungan kita dengan sesama. Banyak kenikmatan yang diberikan Allah SWT melalui tangan orang lain. Saat kita mengalami kesulitan makanan, Allah SWT mengirimkan tetangga kepada kita untuk meminjamkan berasnya. Saat kita ditimpa musibah, keluarga dan kerabat datang untuk menghibur dan memberikan semangat.

Akan tetapi, satu hal yang kerap mengganggu adalah kita sering dihadapkan pada situasi dimana tetangga terlihat lebih beruntung dari kehidupan kita. Di sinilah kita mulai kehilangan rasa syukur. Akibatnya, kita akan keluar menatap kehidupan tetangga. Lalu kita berusaha membanding-bandingkan kehidupan kita dengan kehidupan mereka. Kita menjalani hidup dengan  melihat ke atas. Lalu kita menjadi sinis melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain. Hal ini akan membuat kita kehilangan pikiran positif dalam menjalani kehidupan. Pada saat yang sama, kita menumbuhsuburkan kesan negatif terhadap sesama.

Sikap membandingkan diri dengan orang lain sama saja dengan seseorang yang melangkah sambil menatap langit. Kita berjalan tanpa menyadari bahwa ada lubang di hadapan kita dan terperosok ke dalamnya.

Hilangnya rasa syukur bisa juga ditandai oleh ambisi yang melampaui batas. Pada titik ini, kita sering lupa atas apa yang kita miliki. 

Dengan melakukan refleksi kita akan menyadari bahwa sejatinya pondasi utama dalam kehidupan ini adalah rasa syukur. Maka saya setuju atas pernyataan bahwa “Rasa syukur tertinggi adalah mensyukuri bahwa masih ada rasa syukur dalam diri kita”.

Dalam konteks Ramadan, salah satu hikmah puasa adalah membangun rasa syukur. Secara vertikal, Ramadhan menjadi momentum untuk bersyukur kepada Allah karena diberikan kesempatan untuk menghamba kepada-Nya dengan meningkatkan ibadah secara sungguh-sungguh. Ramadhan menjadi ruang bagi kita untuk belajar menata hati, membersihkan diri dari hawa nafsu yang membelenggu. 

Secara sosial, puasa memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk merasakan penderitaan atas mereka yang mengalami kekurangan. Di sekitar kita masih banyak yang harus menghadapi kesulitan dan kemiskinan yang identik dengan kelaparan. Ramadan menjadi momentum paling berharga untuk membangun rasa empati kepada sesama dan berbaik sangka kepada sesama. Dari sinilah kemudian diharapkan tumbuhnya rasa syukur atas kenikmatan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Berbicara tentang rasa syukur tidak akan ada habisnya. Ada banyak kenikmatan harus disyukuri. Namun puncak tertinggi dari rasa syukur adalah mensyukuri bahwa masih ada rasa syukur dalam diri kita.

Lombok timur, 11 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun