Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2024 dalam Pusaran Badai Vote Buying

14 Februari 2024   23:16 Diperbarui: 14 Februari 2024   23:18 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vote buying sumber https://nasional.kompas.com

Beberapa hari sebelumnya seorang teman juga bertandang ke rumah saya. Dia bercerita bagaimana para kontestan, khususnya caleg di level daerah, berusaha merebut suara pemilih dengan berbagai cara. Dia menyebut sederet nama caleg lokal yang menggunakan metode perolehan suara dengan vote buying 'beli suara'.

Hal yang menarik dari obrolan tersebut adalah transaksi antara kontestan (caleg) dengan pemilih pada umum tidak lebih dari transaksi jual beli di pusat perbelanjaan. Tidak ada transaksi cash on delivery apalagi bayar setelah barang dipakai. Informasi yang berkembang bahwa transaksi politik antara caleg dengan pemilih yang berlaku adalah "Anda memberikan saya uang hari ini dan saya coblos Anda tanggal 14 Februari 2024". Bentangan kalimat ini dapat disederhanakan menjadi, "Anda bayar di depan, saya pilih Anda". 

Kabarnya, banyak caleg menggunakan cara tak bermartabat itu. Fakta jual beli suara dalam pemilu diperkuat oleh pengakuan beberapa warga di kampung. Mereka diberikan kepercayaan mencari sasaran pemilih yang bersedia dibayar untuk mencoblos caleg dari partai tertentu.

Hanya saja tindakan vote buying sulit dibuktikan karena menggunakan strategi gerakan bawah tanah. Sikap masyarakat yang cenderung apatis juga menjadi penyebab cara meraup suara itu sulit dihentikan.

Sebagian para caleg itu melakukan praktek vote buying dengan uang tunai. Tidak ada modus dan istilah lain, seperti uang transport. Sekali lagi beli suara.

Nilai uangnya bervariasi. Ini sangat tergantung dari kemampuan anggaran caleg yang bersangkutan. Seorang caleg berani membayar 50 ribu rupiah untuk setiap suara. Caleg lainnya sanggup menembak seorang pemilih dengan nilai tembakan 60 sampai 75 ribu rupiah. Caleg yang lebih bermodal nekat membeli harga diri pemilih hingga 100-150 ribu per suara.

Tidak sedikit pemilih yang tertarik dengan tawaran tersebut. Namun, pemilih tersebut rerata memiliki sikap konsisten. Jika mereka berani menerima uang, dapat dipastikan bahwa mereka akan memilih caleg yang bersangkutan. Mereka tidak akan keluar dari komitmen mereka.

Saya belum pernah menyaksikan bagaimana transaksi gila itu terjadi. Namun hal ini telah menjadi cerita dari mulut ke mulut. Isu praktik jual beli suara itu kemudian dianggap sebagai kecurangan yang diwajarkan. Praktek tersebut tidak saja terjadi dalam pemilu tetapi juga dalam pilkada sampai pemilihan kepala desa.

Praktek curang vote buying menunjukkan sebagian besar peserta pemilu tidak memiliki kesiapan untuk merebut simpati pemilih dengan cara yang lebih masuk akal. Para kontestan belum benar-benar mampu bersaing secara sehat dan jujur untuk merebut suara rakyat. Demikian pula dengan sebagian pemilih mata duitan, mereka tidak memiliki sikap yang cukup matang untuk menentukan pilihan mereka secara rasional. Sebagian masyarakat hanya berpikir tentang keuntungan jangka pendek.

Fenomena jual beli suara pada dasarnya sangat ditentukan oleh perilaku elit politik di berbagai level. Pada umumnya, para wakil rakyat yang telah terpilih memberikan kesan hanya mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan konstituen yang dia wakili.

Sebagian besar penerima bayaran beranggapan bahwa hanya uang itu yang dapat mereka peroleh setelah pemilihan berlangsung. Selebihnya hanya keuntungan untuk mereka yang menduduki kursi. Anggapan itu sebenarnya disebabkan oleh perilaku sebagian caleg yang kurang memperjuangkan nasib rakyat setelah mereka terpilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun