Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cemas karena Pekerjaan Tidak Tuntas Saat Liburan, Apakah Termasuk Post Holiday Blues?

4 Januari 2024   00:56 Diperbarui: 8 Januari 2024   16:50 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak menjadi kepala sekolah pada pertengahan tahun 2019 silam saya merasakan hampir tidak pernah menikmati libur pergantian tahun, yang selalu dalam satu rangkaian dengan libur natal, sebagaimana mestinya. Setiap libur akhir tahun saya jarang memiliki kesempatan, paling tidak, duduk dengan santai di rumah menikmati hari libur secara leluasa atau pergi ke sebuah tempat tertentu untuk melegakan pikiran dan perasaan.

Setiap kali liburan akhir tahun tiba, saya nyaris selalu dihadapkan pada pekerjaan mendesak yang perlu segera diselesaikan. Mungkin ini pengakuan yang terkesan berlebihan tetapi memang begitulah kenyataannya. Secara umum pekerjaan itu berupa laporan kegiatan  sekolah, seperti, keuangan, data fisik sekolah, kepegawaian, sampai data siswa.

Di akhir tahun biasanya ada begitu banyak hal tertunda yang harus dirampungkan atau permintaan data yang bersifat sekonyong-konyong. Tidak jarang saya harus nongkrong di sekolah. Tentu saja nongkrong bukan sembarang nongkrong tetapi mengerjakan hal-hal yang bersifat krusial dan harus segera mendapatkan penyelesaian. Ini dialami oleh hampir semua kepala sekolah.

Pada awalnya saya merasa seperti memerlukan energi yang lebih dari biasanya. Namun kemudian saya menjadi terbiasa menjalani hari-hari libur dengan pekerjaan yang menumpuk.

Rupanya berhadapan dengan pekerjaan saat libur pada tahun-tahun sebelumnya, saya hadapi juga dalam liburan semester, natal, dan tahun baru di ujung tahun 2023.

Saya dan tentunya beberapa guru yang ada di sekolah dituntut menyelesaikan e-kinerja, melakukan evaluasi dan perubahan beberapa program, atau menyelesaikan pelaporan keuangan. Sebuah sekolah bahkan meminta saya memberikan pendampingan pemanfaatan PMM.

Apa yang saya alami dalam liburan akhir tahun lambat laun menjadi sesuatu yang biasa. Hal itu tidak menjadikan saya dilanda kesedihan karena kehilangan kesempatan untuk berlibur dalam arti yang sebenarnya.

Kesedihan itu justru muncul ketika saya tidak dapat menuntaskan semua tumpukan itu saat liburan. Ada rasa bersalah bertubi-tubi ketika saya tidak dapat memenuhi ekspektasi. Ini menjadikan saya merasa cemas, tidak nyaman, dan tentu saja ada sisi kesedihan karena tidak semuanya dapat diselesaikan secara utuh.

Apakah ini tergolong post holy days

Dikutip dari Kompas, Post Holiday Blues (PHB) secara umum mengacu pada tekanan mental, kecemasan, dan kesedihan yang muncul setelah liburan. PHB bisa menciptakan penderitaan dalam jangka pendek pada diri seseorang pasca liburan. Ia bisa mengalami kesedihan setelah kembali ke rumah atau menjalani rutinitas normal setelah liburan. Apalagi jika liburan itu menyenangkan. PHB kemungkinan juga dapat disebabkan oleh rencana liburan yang tidak memenuhi harapan atau rasa sesal karena melakukan atau mengabaikan sesuatu saat berlibur.

Intensitas kesedihan itu berpotensi mengalami peningkatan setelah seseorang menjalani liburan panjang. Saat kembali ke rumah, kita lalu menyadari betapa menjemukannya ketika memulai rutinitas kerja dan hidup normal jika dibandingkan dengan aktivitas saat berlibur. Perasaan sedih pasca liburan dapat menyebabkan kelelahan dan kehilangan nafsu makan. 

Dalam beberapa kasus, kita tidak jarang dibebani perasaan nostalgia liburan yang membuat kita mengalami semacam depresi. Sebagaimana dikutip dari Alodokter, jet lag menjadi salah satu gangguan psikologis dimana kita diserang rasa kantuk pada siang hari dan kesulitan memejamkan mata ketika malam menjelang setelah menempuh perjalanan panjang.

Dalam kasus yang saya alami, munculnya kecemasan dan kesedihan pasca liburan mungkin bukan tergolong post holiday blues karena liburan dilalui dengan menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Saya memang tidak melakukan perjalanan untuk mengisi liburan. Namun, saya memastikan bahwa ada rasa ketidakpuasan dan (mungkin) kesedihan karena saya tidak dapat menyelesaikan sebagian pekerjaan secara utuh selama liburan. Kesedihan, ketidakpuasan, atau penyesalan tetap saja merupakan bagian emosi negatif yang perlu diatasi agar tidak berlarut-larut.

  • Meyakinkan diri bahwa semuanya dapat diselesaikan

Saya selalu percaya bahwa setiap pekerjaan akan dapat diselesaikan. Ini merupakan cara pandang dan sikap utama yang memungkinkan kita menghadapi situasi seperti di atas. Keyakinan itu akan mempertebal rasa percaya diri sehingga kecemasan dapat dikurangi. 

Rasa percaya diri akan memupuk sikap tenang menghadapi permasalahan paling rumit sekalipun, termasuk pekerjaan. Kecemasan, sebaliknya, membuat kita mengalami kesulitan berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran dalam menyelesaikan setiap permasalahan.

  • Bertemu dengan rekan sejawat

Kecemasan itu muncul saat kita berjalan sendiri dan kehilangan solusi dalam menghadapi tumpukan pekerjaan. Untuk menghilangkan kecemasan, saya sering memilih bertemu rekan sejawat yang memang sedang berhadapan dengan permasalahan serupa. Dengan mereka saya bisa bertukar pikiran dan berbagi pengalaman.

Bertemu dengan rekan sejawat biasanya selalu ada jalan keluar--memungkinkan kita saling memberi motivasi, dukungan, dan semangat. Bertemu dengan rekan sejawat dapat mengurangi kecemasan dan membangkitkan rasa percaya diri. 

  • Ngobrol dengan tetangga

Kita tidak dapat menghindari pikiran suntuk saat berhadapan dengan tumpukan pekerjaan. Hal ini membuat kita merasa hidup sendiri dan kesepian. Biasanya saya berusaha mengusir kesepian itu dengan ngobrol bersama tetangga.

Mungkin tetangga tidak dapat membantu menyelesaikan pekerjaan tetapi dengan bertemu mereka dapat mencairkan bekunya kesendirian dan kesepian yang kita rasakan saat bekerja. Kita memerlukan suasana santai, membutuhkan banyolan, atau sekadar gosip murahan yang melegakan pikiran dan perasaan.

  • Melakukan aktivitas di luar ruangan

Kita semua sepakat bahwa mempekerjakan pikiran secara terus menerus dapat menimbulkan keletihan fisik dan mental. Oleh karena itu, pikiran perlu diistirahatkan sementara. 

Jika sudah merasa lelah berhadapan dengan layar laptop, saya biasanya akan beranjak dari tempat duduk dan memilih keluar ruangan dan menghela udara ruang terbuka. Menatap bebunga di halaman atau menyaksikan kaki si kecil bungsu berjuang menjangkau pedal saat mengendarai sepeda kakaknya dapat memulihkan kinerja pikiran yang letih.

Pikiran dapat diistirahatkan dengan menatap langit malam, menikmati gemerlap bintang, atau kelembutan cahaya rembulan. Saya biasanya duduk di teras sambil dengan sebatang rokok terselip di antara jemari sambil meresapi nyanyian serangga malam.

Aktivitas di luar ruangan akan membuat energi dan kemampuan berpikir dapat dipulihkan kembali. Jalan-jalan di halaman dan sekitar rumah akan dapat membangun kembali konsentrasi kerja yang mulai labil.

Lombok Timur, 03 Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun