Sebuah suara dari corong Toa menyebut nama saya agar menuju naungan terop tempat tahlilan. Malam itu sudah makan kelima acara tahlilan dilaksanakan untuk mendoakan salah seorang keluarga yang meninggal. Saya menengok ke arah datangnya suara di bawah terop. Tampaknya baru satu dua orang warga yang hadir.
Tahlilan bagi sebagian umat Islam di Lombok merupakan tradisi yang sangat populer, bahkan di berbagai daerah di Nusantara. Namun di balik itu, ada pro kontra dengan tradisi ini. Sebagian menganggapnya sebagai sesuatu yang bid'ah (sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW).
Kelompok lainnya menganggap tahlilan sebagai sesuatu yang dibolehkan (dianjurkan) karena memang ada dalil (ayat dan hadist) yang berhubungan.
Tahlilan atau tahlil pada dasarnya istilah yang merujuk kepada kalimat Laa ilaaha illa Allah. Kalimat ini menjadi salah satu bacaan dalam acara tahlilan di samping bacaan surah-surah pendek dalam juz terakhir dalam Al-Qur'an dan doa-doa lain.
Saya tidak memiliki cukup keilmuan untuk menjelaskan lebih luas mengenai pro dan kontra tahlilan bagi orang yang telah meninggal dunia. Namun harus diakui bahwa, secara sosiologi, tahlilan merupakan momentum penting dalam kehidupan sosial.
Membangun empati dan solidaritas
Dari sudut pandang agama, kematian merupakan bagian dari misteri sang Khalik. Kita tidak pernah benar-benar memiliki kepastian kapan ajal datang menjemput.
Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (QS. Al-A'raf: 34)
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajal dalam ayat di atas kerap dihubungkan dengan akhir masa dari sesuatu dan berarti waktu kematian manusia. Kematian dapat menjemput siapa saja tanpa mengenal usia, status sosial, jabatan, atau kebugaran.
Kita semua tentu pernah memiliki pengalaman yang mengejutkan ketika suatu hari mendengar seorang keluarga, kerabat, teman, atau sahabat yang tiba-tiba meninggal dunia. Padahal sehari sebelumnya kita sempat bertegur sapa atau ngobrol.
Kita tidak pernah menduga yang bersangkutan akan pergi. Hal ini menunjukkan bahwa kematian tidak dapat ditebak dan dipastikan. Setiap umat beragama meyakini bahwa ada campur tangan Tuhan dalam kehidupan dan kematian.
Dalam ilmu biologi kematian ditandai dengan kematian milyaran sel-sel tubuh. Karena tidak ada regenerasi sel, tanda-tanda kematian jelas terlihat. Kulit jasad menunjukkan bercak-bercak kematian dan jasad menjadi kaku. Proses pembusukan juga dimulai dan berlangsung cepat. Pada fase ini sudah tidak diragukan lagi bahwa makhluk hidup sudah mati.
Manusia adalah makhluk sosial dan beradab. Dalam berbagai agama maupun tradisi, ada ritual mengenang dan menghormati anggota keluarga yang sudah meninggal.
Dalam dunia medis, pengertian kematian yang diterima adalah berhentinya fungsi sirkulasi jantung dan pembuluh darah secara permanen, dan hilangnya fungsi otak (Sumber alodokter.com).
Dunia medis menyatakan bahwa fakta kematian adalah suatu kondisi dimana organ tubuh tidak dapat bekerja lagi menjalankan fungsinya.
Setiap orang atau keluarga tentu pernah dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit ketika orang yang dicintai meninggal dunia. Ini sesuatu yang pedih dan memilukan. Kepergian salah seorang anggota keluarga membuat seseorang merasa kehilangan dan kesepian.
Pada kondisi ini, kita sebagai tetangga dan kerabat berperan mendampingi mereka yang ditinggalkan. Kehadiran warga dalam tahlilan yang biasanya dilaksanakan selama sembilan malam, memungkinkan seseorang yang tengah berduka merasa terhibur.
Dengan menghadiri tahlilan kita berkesempatan untuk menunjukkan empati dan ikut berbela sungkawa. Tahlilan merupakan kesempatan bagi warga membangun solidaritas sosial dan mengikat simpul kebersamaan dan persaudaraan.
Menguatkan Hubungan Sosial
Zaman terus berkembang dan kehidupan masyarakat juga mengalami dinamika. Orang semakin sibuk dengan urusan masing-masing. Hal ini membuat hubungan dengan sesama tetangga semakin renggang. Kita semakin jarang berinteraksi dengan tetangga.
Fenomena ini tidak saja terjadi di kota tetapi juga sudah mewarnai kehidupan masyarakat pedesaan. Kesempatan berinteraksi dengan sesama warga semakin berkurang seiring perubahan gaya hidup yang juga semakin individualistis.
Melalui tahlilan warga berkesempatan untuk menguatkan interaksi dengan sesama. Di tempat tahlilan warga dapat bertemu dengan warga, ngobrol, bercanda, dan bercerita tentang banyak hal. Tahlilan memungkinkan warga membangun kembali hubungan sosial yang sering terabaikan karena kesibukan masing-masing.
Saling Membantu
Dalam tahlilan biasanya tuan rumah menyiapkan makanan dan minuman ringan ala kadarnya. Dalam masyarakat Sasak Lombok, ada tradisi dimana keluarga yang mengalami musibah mendapatkan bantuan dari warga. Tradisi tentu juga berlaku di daerah lain.
Di setiap kampung biasanya telah dibentuk banjar kematian, semacam lembaga informal yang berperan menggalang dana untuk biaya tahlilan sampai sembilan hari. Dana itu merupakan iuran yang dikeluarkan anggota banjar sebagai bantuan bagi keluarga yang melaksanakan tahlilan.
Bahkan pada hari pertama kematian, biasanya warga datang melayat dengan membawa pelangar.
Pelangar merupakan barang bawaan warga sebagai sumbangan berupa beras atau uang seikhlasnya untuk keluarga yang sedang berduka.
Ini merupakan salah satu cara warga saling membantu saat musibah kematian merundung sebuah keluarga.
Tahlilan tidak saja bagian dari ritual ibadah yang semata-mata berkumpul untuk memanjatkan doa sebagai interaksi dengan sang Khaliq tetapi juga menjadi medium membangun rasa empati, menumbuhkan solidaritas sosial, dan saling membantu dalam kesulitan.
Lombok Timur, 24 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H