Kedua, kurangnya pemahaman para pendukung atau tim sukses caleg tentang aturan kampanye pemilu. Dalam kasus pemasangan baliho di atas, ada kemungkinan mereka tidak memahami konsekuensi hukum jika melibatkan anak-anak di bawah umur dalam kampanye.
Hal ini perlu menjadi perhatian para kontestan. Seharusnya para pendukung diberikan pemahaman tentang tata cara kampanye yang sesuai dengan peraturan.
Caleg atau partai seharusnya membekali tim suksesnya dengan pemahaman yang cukup tentang aturan yang berhubungan dengan tata tertib kampanye.
Ketiga, dalam konteks politik uang masih adanya kecenderungan masyarakat yang menjatuhkan pilihan politik kepada mereka yang memberikan sesuatu secara material.
Menurut Irvan (2021), politik uang, setidaknya, memiliki dua dimensi yaitu, ambisi politik dan modal uang. Di satu sisi, capaian politik selama ini berorientasi kepada kekuasaan. Di sisi lain, uang ditempatkan sebagai sumber daya material dan media utama untuk meraih kekuasaan.
Kekuasaan dan uang menjadi semacam kekuatan yang memenjara masyarakat dalam kepentingan sesaat tanpa berpikir dampak jangka panjang. Politik uang telah dipercaya sebagai biang keladi dari maraknya korupsi di negeri ini.
Pelanggaran kampanye dengan bagi-bagi uang sejauh ini cenderung sulit dihentikan.
Dilansir dari Liputan6, politik uang disebabkan oleh daya jual caleg yang rendah karena tidak memiliki program sehingga menggunakan uang sebagai jalan menuju kemenangan.
Penyebab lainnya karena lemahnya hukum dan faktor budaya. Dalam konteks budaya, ada kebiasaan masyarakat Indonesia yang terbiasa saling memberi dan menerima. Jika mendapatkan pemberian kita biasanya berpikir untuk membalas pemberian tersebut. Rupanya instrumen budaya ini dijadikan basis gerakan politisi untuk melakukan politik uang.
"Saya sudah berjanji akan memilihnya karena dia sudah memperbaiki gang depan rumah saya," kurang lebih begitu cara pandang banyak warga di kampung saya untuk urusan pilihan politik.
Keempat, sikap skeptis masyarakat juga menjadi pemicu pelanggaran pemilu oleh para caleg atau kontestan. Sikap ini kemungkinan disebabkan oleh riwayat pelanggaran itu sendiri. Jika masyarakat telah mengalami atau menyaksikan pelanggaran pemilu di masa lalu, mereka mungkin menjadi skeptis terhadap integritas proses pemilu.