Tulisan kedua, ketiga, dan seterusnya, saya tayangkan walaupun tidak setiap hari. Saat draft artikel ini saya tulis (22 Oktober 2023) saya sudah sudah wara wiri di Kompasiana selama 1 tahun, 9 bulan, dan 14 hari.
Apakah ini sebuah perjalanan panjang? Sangat relatif jika dibandingkan dengan Kompasianer lain. Jika dibandingkan dengan Kompasianer senior yang sudah bergabung sampai belasan tahun tentu perjalanan saya dapat dianggap baru mulai.
Namun jika disandingkan dengan Kompasianer yang baru berumur sebulan, perjalanan saya tergolong panjang.
Tentu saja bukan masalah berapa lama kita di ruang ini. Hal penting adalah sudah berapa tulisan yang dihasilkan di Kompasiana. Terutama kualitasnya.
Apa saja yang didapatkan?
"Sudah dapat berapa di Kompasiana?" tanya seorang teman yang kerap mengintip tulisan yang saya bagikan di sebuah WAG.
Pertanyaan yang diikuti dengan "dapat berapa" dapat dipastikan berarti imbalan uang. Bagi saya dan sebagian besar kompasianer tentu bukan tentang kompensasi semacam ini.
Pertemanan merupakan satu sisi yang paling penting bagi para Kompasianer. Jalinan pertemanan di Kompasiana seperti kehidupan dalam sebuah pemukiman yang dihuni oleh sekumpulan orang yang terdiri dari latar belakang profesi, agama, etnis, suku, sosial budaya, bahkan warna kulit yang sangat beragam.
Namun satu hal yang membuat Kompasianer merasa sama dan sejajar, sama-sama senang menulis. Hal yang sulit ditemukan di dunia nyata.
Pertemanan dalam Kompasiana yang paling berharga adalah berbagi pikiran dan pengalaman melalui tulisan. Ini jauh lebih berharga daripada berbagi sesuatu yang bersifat kebendaan.
Salah satu pengalaman pertemanan paling berkesan adalah ketika salah seorang Kompasianer senior, Pak Tjiptadinata Efendi berkenan berbagi buku tentang perjalanan hidup pribadinya kepada sesama kompasianer. Saya menjadi salah satu penerima buku dari Pak Tjipta.
Selain pertemanan hal penting yang dapat ditemukan di blog kompasiana adalah kekayaan perspektif dalam memandang sebuah isu.