Iqbal, dkk (dalam Buku Panduan Pelaksanaan Program Sekolah Penggerak 2023), menegaskan bahwa PMO adalah sebuah kelompok yang melakukan kegiatan pertemuan rutin yang diikuti oleh komite pembelajaran (kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah). Pertemuan tersebut bertujuan untuk melakukan refleksi atas pencapaian, kekurangan, dan akar masalah terkait proses dan hasil belajar murid. Pada saat yang sama, peserta PMO juga berusaha mencari solusi penyelesaian masalah. Pelaksanaannya PMO level sekolah juga berfungsi sebagai wadah untuk membangun budaya refleksi di satuan pendidikan dan memantau progres pencapaian tujuan Program Sekolah Penggerak.
Ketika satuan pendidikan dihadapkan pada satu atau sejumlah masalah, tim PMO harus mencari penyelesaiannya. Apabila tidak terselesaikan, masalah tersebut akan mengalami eskalasi atau dinaikkan ke PMO level daerah dan seterusnya. Proses dan hasil PMO tersebut dilaporkan pelatih ahli melalui aplikasi SIMPKB yang sudah dipersiapkan.
Dua tahun pertama sekolah penggerak mengikuti kegiatan PMO secara terjadwal di bawah mendapatkan pendampingan fasilitator. Pendampingan ini dilakukan sebagai bentuk intervensi kemendikbud ristek dalam pelaksanaan program.
Pada tahun ketiga, sekolah dianggap sudah cukup matang dan memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan PMO secara mandiri. Untuk mewujudkan transformasi ke arah program pendampingan yang berkelanjutan, kegiatan PMO tahun 2023/2024 mengalami proses transisi. Proses ini ditandai dengan perubahan tanggung jawab pelaksana dan pelapor PMO level sekolah dari fasilitator ke kepala sekolah. Hal ini diharapkan agar PMO level sekolah dapat dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan berdasarkan prinsip reflektif dan berfokus pada kebutuhan murid
Paling tidak ada empat topik yang disarankan sebagai obyek refleksi dalam PMO yaitu, 1) manajemen dan pengembangan sekolah, 2) implementasi pembelajaran di kelas, 3) iklim keamanan dan inklusivitas, dan 4) peningkatan kapasitas guru.
PMO berupaya membangun budaya positif pada satuan mendidikan. Paling tidak budaya positii tersebut terangkum dalam beberapa point berikut ini.
Mengembangkan budaya refleksi dan sikap kritis
Hal esensial dalam kegiatan PMO adalah budaya refleksi. Refleksi merupakan sebuah kerja mental yang menuntut anggota tim PMO untuk merenungkan, menganalisis, dan menemukan akar masalah atas program yang telah dilaksanakan.
Dalam masa intervensi PMO, fasilitator berperan sebagai coach (pelatih). Pada posisi ini fasilitator tidak bertindak sebagai pemberi solusi melainkan berperan sebagai pengarah dengan mengajukan pertanyaan pemandu yang memantik peserta PMO untuk berpikir kritis dalam melakukan analisis terhadap setiap perubahan yang dihasilkan.
Berpikir kritis mengandaikan adanya hasil penilaian yang fair melalui refleksi. Hal ini menuntut kejujuran dan objektivitas dalam PMO. Guru, melalui tindakan refleksi, dituntun melakukan evaluasi diri terhadap kinerjanya sendiri dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Demikian juga dengan kepala sekolah dan pengawas sebagai anggota tim PMO. Mereka harus menggunakan objektivitas mereka dalam melakukan penilaian terhadap guru dan dirinya sendiri dalam pelaksanaan program.
Kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran pada satuan pendidikan memiliki peran yang lebih kompleks. Kepala sekolah didampingi untuk memahami kondisi sekolah secara keseluruhan. Kepala sekolah hendaknya memahami kemampuan sumber daya yang dimiliki
Membangun pola pikir berkembang (growth mindset)
Sebagaimana diuraikan di atas, refleksi merupakan aktivitas merenungkan kembali pengalaman sebelumnya. Dalam konteks pembelajaran refleksi menyaran kepada perenungan guru tentang pengalaman mengajar.