"Apa yang Anda Cari dalam Komunitas Belajar?"
Kalimat di atas merupakan salah satu judul artikel yang saya tayangkan di Kompasiana tanggal 17 Agustus 2023. Artikel tersebut saya unggah setelah pulang dari lapangan untuk ikut dalam upacara pengibaran bendera merah putih dalam rangka peringatan HUT ke-78 RI. Sebagai penulis amatiran saya tentu saja butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan artikel pendek itu.
Mengikuti nasihat para penulis senior, jika menghendaki tulisan dibaca orang, sebarkan linknya melalui media sosial. Saya pun mengirimkan link tulisan itu ke beberapa grup WhatsApp.
Beberapa saat berikutnya sebuah reaksi muncul dari seorang anggota sebuah WAG yang anggotanya terdiri dari para titik-titik.
"Cari wang."
Dua kata itu jelas menyaran pada link artikel yang saya bagikan. Saya tidak bisa memastikan apa makna dari tanggapan tersebut. Namun saya berasumsi bahwa respon itu mengarah pada salah satu dari dua hal. Pertama, yang bersangkutan sedang berseloroh menjawab judul tulisan. Atau, kedua, dia tengah beropini bahwa saya menyebarkan link tulisan untuk mendapatkan banyak pengunjung yang dapat menghasilkan uang dari tulisan saya.
Bagi saya dan mungkin semua penghuni Kompasiana, bukan sebuah masalah ketika tulisan yang sudah menghabiskan energi itu mau dibaca atau tidak dibaca.
Cerita atas pengalaman tersebut di atas mungkin terkesan baper. Namun, Sejauh yang saya tahu banyak orang memilih untuk menulis sebagai sebuah bentuk ekspresi diri. Satu hal yang pasti bahwa respon di atas menunjukkan kurangnya literasi.
Dilansir dari Media Indonesia, tingkat literasi di Indonesia berkisar 1 dari 1.000 orang yang memiliki minat baca. Ini menunjukkan bahwa kita mengalami krisis literasi akut.
Krisis literasi itu juga diperkuat oleh hasil riset Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. (sumber laman Kominfo).
Fakta minat baca di atas membuktikan bahwa literasi merupakan aktivitas yang belum terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran teknologi digital sangat memungkinkan seseorang untuk mengakses sumber bacaan melalui berbagai platform yang tersedia. Dengan telepon pintar di tangan, kita dapat mengakses berbagai informasi yang sangat melimpah.
Melalui Media Indonesia, Kemenkominfo merilis bahwa tahun 2021, data pengguna smartphone di Indonesia menyapai 89% dari total penduduk Indonesia. Sebuah sumber menyebutkan bahwa rata-rata penggunanya melihat layar handphone sampai 9 jam perhari. Sayangnya tatapan mata itu bukan untuk membaca secara serius untuk mengakses informasi yang dapat membangun kecerdasan literasi.
Indonesia Baik, menurunkan laporan Digital Civility Index (DCI) oleh Microsoft, kepemilikan smartphone itu tidak membuat kita menjadi pengguna yang baik. Alih-alih membuat kita menjadi cerdas secara digital, pengguna internet Indonesia malah ditempatkan sebagai pengguna paling tidak sopan di Asia Tenggara.
Laporan di atas setidaknya menyajikan fakta buruk bahwa kita mengalami krisis literasi dan etika digital. Namun demikian, tidaklah hal ini membuat pihak-pihak yang peduli terhadap pengembangan budaya literasi untuk bersikap pesimis.
Salah satu cara membangun budaya literasi tentu saja menulis. Bagi banyak orang menulis bukanlah perkara mudah. Juga tidak mudah untuk membuat orang tertarik membaca sebuah tulisan yang dihasilkan.
Satu hal yang jelas bahwa untuk menumbuhkan budaya literasi itu kita harus bermuka tebal.
Lombok Timur, 20 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H