Pagi 17 Agustus 2023, saya terjaga saat imam membaca doa terakhir dari corong toa dalam dzikir setelah shalat subuh. Suara azan, gema istighfar, shalawat, dan zikir usai shalat merupakan kemeriahan pagi yang sudah biasa di kampung saya. Setidaknya keramaian pagi seperti ini membuat para penikmat mimpi di akhir malam menyudahi igauannya tentang setiap jengkal kehendak yang dibawa ke alam bawah sadarnya untuk ditarik kembali memasuki alam realitas.
Saya menuju kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuh dengan kucuran air dari kran. Tubuh saya sedikit menggigil sebagai bentuk respon terhadap suhu yang merangsang ketika bersentuhan dengan dinginnya air. Beberapa saat setelah sekujur badan kuyup, kinerja tubuh saya mulai dapat beradaptasi dengan suhu tersebut.
Setelah mandi dan mengambil air wudlu saya shalat subuh. Secangkir kopi buatan istri saya mengepulkan uap beberapa saat setelah doa terakhir usai shalat subuh. Aroma uapnya saja membuat saya merasa bersemangat. Saya menyeruput kopi itu dengan pelan. Kerongkongan saya terasa hangat mengimbangi suhu pagi yang menusuk.
Sambil menikmati kopi saya mengambil telepon pintar dan membuka pesan-pesan yang masuk. Tidak ada pesan penting yang bersifat mendesak. Sebagian besar pesan yang masuk ke grup yang saya ikuti berisi link tulisan di platform Kompasiana dan beberapa platform lainnya. Beberapa grup berisi pesan gambar tentang berbagai kegiatan Agustusan tahun ini.
Beberapa saat setelah kopi habis, saya mulai berkemas untuk mengikuti upacara peringatan HUT ke 78 RI. Sesuai undangan upacara dilaksanakan di lapangan yang terdapat di pusat kota kecamatan. Jarak dari kampung saya sekitar 3-4 km. Sekitar pukul 07.00 waktu setempat saya berangkat mengendarai kuda besi yang cukup mengkilap karena kemarin sore masuk jasa cuci kendaraan.
Rasanya agak rikuh saya harus ikut upacara dengan kepala botak tanpa penutup. Bukan karena malu dengan kepala botak tetapi saya merasa kurang lengkap saja menghormati bendera tanpa peci atau topi. Akhirnya saya sempatkan diri memasuki sebuah toko untuk mendapatkan peci.
Dengan peci di kepala saya langsung mengarahkan kendaraan menuju lokasi kegiatan. Rupanya upacara akan segera dimulai. Terlihat pasukan pengibar bendera telah berbaris di jalan yang membatasi lapangan upacara sebelah barat. Mereka menanti pembawa acara membacakan tugas mereka.
Pasukan yang terdiri dari siswa SMA dan MA dari berbagai sekolah di kecamatan itu mengenakan pakaian putih. Di kepala anak-anak muda itu bertengger peci hitam, secarik kain warna merah menutupi leher mereka. Saya Googling untuk mencari tahu nama kain itu. Ternyata namanya "skraf leher".
Beberapa satpol PP berdiri di jalan masuk ke lapangan. Saya dipersilakan memarkir motor di halaman sebuah sekolah yang berseberangan dengan lokasi upacara. Setelah memarkir kendaraan saya melangkah ke lapangan untuk bergabung dengan peserta upacara lainnya.
Peserta upacara sudah berbaris mengelompok berdasarkan instansi masing-masing. Beberapa unit terop yang berfungsi sebagai tribun berdiri di bagian barat. Terop itu menaungi sejumlah peserta upacara yang terdiri dari pejabat pemerintahan kecamatan. Di sebelah timur berbaris siswa dari sejumlah sekolah. Di sisi selatan lapangan ada barisan guru dan pegawai.
Satu satu rangkaian upacara pengibaran bendera berlangsung. Kegiatan berjalan cukup lancar. Paskibra menjalankan tugasnya mengibarkan bendera merah-putih putih hampir sempurna. Dari tempat saya berdiri pemimpin paskibra jelas terdengar suara lantangnya memberikan aba-aba kepada pasukan. Langkah tegap yang serentak dengan formasi yang ditunjukkan paskibra cukup memukau para peserta upacara.
Regu nyanyi yang berbaris setengah melingkar di bawah naungan terop menjalankan tugasnya penuh khidmat. Saat bendera dikibarkan menuju puncak tiang, Lagu Indonesia Raya menggema ke seluruh lapangan. Gaya atraktif dirigen memimpin regu nyanyi membuat peserta upacara larut dalam lagu penuh semangat. Lagu kebangsaan itu seakan sebuah mesin waktu yang membawa peserta melintasi perjalanan sejarah perjuangan bangsa.
Saat upacara berlangsung, beberapa peserta upacara harus diusung ke dalam ambulans karena mengalami pusing, lemas, atau pingsan. Tim medis bergerak cepat memberikan pertolongan.
Satu demi satu tahapan pengibaran bendera berlangsung. Setelah upacara usai dilakukan pelepasan burung merpati yang melambangkan penghapusan penjajahan menuju manusia merdeka.
Manusia merdeka dalam konteks kemerdekaan tentu bukan lagi kebebasan dari kolonialisme fisik. Manusia disebut merdeka ketika seseorang tidak lagi dijajah kebodohannya sendiri atau dibelenggu ketidakberdayaan secara ekonomi, atau dipasung cara berpikir sempit. Manusia merdeka adalah manusia yang tidak membebankan hidupnya pada sesama.
Selanjutnya sebuah tarian kolosal mengiringi lagu Pelajar Pancasila. Lagu dan tari itu dipentaskan oleh sekelompok siswa SD setempat. Sejumlah peserta upacara ikut larut mengikuti gerakan tari dan menggumamkan nyanyian itu.
Upacara pengibaran bendera usai. Sebagian peserta upacara masih bertahan di lapangan. Sebagian menggunakan momentum itu untuk berselfi atau sekedar tinggal untuk menikmati suasana.
Saya sendiri berdiri bersama beberapa orang teman sambil ngobrol di salah satu sisi lapangan.
Matahari makin tinggi membuat udara makin panas. Situasi itu membuat saya dan teman-teman mengakhiri obrolan. Kami meninggalkan lapangan.
Pengibaran bendera merah putih setiap tanggal 17 Agustus merupakan acara puncak kegiatan peringatan kemerdekaan RI. Sebelumnya banyak kegiatan dilakukan masyarakat untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan. Setiap tempat mengekspresikannya dengan cara yang beragam.
Selamat Hari Ulang Tahun ke 78 Indonesiaku.
Lombok Timur, 18 Agustus 223
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H