Di kampus, ada mahasiswa yang menganggap lebih asyik dan lebih penting mengikuti kegiatan organisasi kampus tinimbang menyelesaikan tuntutan akademiknya. Atau di sekolah saya, seorang anak lebih antusias mengikuti kegiatan sanggar dibanding mengikuti pelajaran di kelas yang mungkin baginya sangat membosankan.
Ilustrasi lain misalnya, di kampung saya beberapa orang tua menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Bisa jadi mereka menganggap bahasa Indonesia lebih penting daripada bahasa daerah.
Setiap orang memiliki identitas agama, budaya, sosial, dan identitas lainnya. Persepsi setiap orang tentang identitas itu berbeda. Ada yang menganggap identitas agama lebih penting daripada identitas budaya sehingga akan tampil dengan pakaian dan aktivitas lebih religius.
Yang lain akan menganggap identitas agama sebagai sesuatu yang tidak penting tetapi agama bukan satu-satunya identitas yang harus ditampilkan. Mereka akan mengabungkan identitas agama dan budaya sebagai karakteristis pribadinya.
Saya sendiri lebih cenderung menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Hal ini bukan berarti bahwa saya tidak menganggap penting penguasaan bahasa Indonesia oleh anak-anak. Namun, era informasi saat ini membuat anak-anak tergolong cepat memahami bahasa Indonesia dengan keberadaan gawai di tangan mereka.
Adanya perbedaan persepsi itu bukanlah hal sesuatu yang harus dipersoalkan. Hal yang lebih penting dari perbedaan itu adalah saling menghargai.
6. Cara pandang yang salah tentang identitas
Masih banyak di antara kita memandang identitas dengan cara yang salah. Sebagian orang membanggakan identitas dengan cara yang berlebihan. Hal ini membuat kita memandang orang lain berada pada posisi subordinat.
Cara pandang ini membuat kita memandang kerdil orang lain yang memicu timbulnya diskriminasi dan perlakuan yang tidak sama kepada sesama. Hal ini tidak saja terlihat pada perilaku individual tetapi juga bersifat sosial.
Cara padang yang salah tentang identias juga membuat seseorang menjadi pribadi yang minder. Hal ini membuat seseorang sulit bergaul dan terbuka kepada orang lain. Cara pandang ini pula yang membuat kita tidak dapat tumbuh menjadi peribadi yang dinamis.
Pembelaan berlebihan pada identitas
Fanatisme terhadap sesuatu telah banyak membuktikan rapuhnya seseorang secara emosional. Ketika orang lain menyentuh identitas yang dianggap paling berharga seringkali membuat kita tidak terkendali. Sudah banyak kasus kekerasan di dunia ini di mana kekerasan disebabkan oleh pembelaan berlebihan terhadap identitas.
Sejarah menunjukkan bagaimana kelompok atau gerakan yang meyakini ras kulit putih sebagai ras yang terbaik. Keyakinan tersebut mendorong terjadinya kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Fanatisme yang salah tentang cara beragama juga menjadi cerita konflik sosial yang sering terjadi.