Membaca topik pilihan Kompasiana tentang penipuan digital saya teringat pengalaman beberapa bulan yang lalu. Saat itu saya menerima sebuah pesan WhatsApp. Pesan itu datang dari pengirim dengan profil dan nama aplikasi sebuah platform media sosial, Telegram.
Isi pesannya menginformasikan bahwa saya berhak mendapatkan pulsa senilai 500 ribu. Saya setengah percaya dengan pesan tersebut karena sebelumnya saya tidak pernah mengikuti event tertentu yang dilaksanakan pihak telegram. Saya hanya menggunakan aplikasi itu sebagai salah satu media sosial di handphone saya.
Dengan tetap memasang kecurigaan saya merespon dengan menanyakan lebih lanjut prosedur untuk mendapatkan pulsa tersebut. Katanya tidak ada persyaratan. Saya hanya dimintai kesediaan menerima.
Dengan hati riang gembira saya menyatakan bersedia. Siapa yang tidak bersuka ria diberikan pulsa secara cuma-cuma dengan nilai yang lumayan besar untuk pemakaian sehari-hari.
Saya diminta menunggu beberapa saat. Tidak lama berselang pesan baru dari pengirim yang sama masuk. Dia memberitahukan bahwa stok pulsa di kantor sudah tipis, tidak cukup sampai 500 ribu.
Dalam pesan berikutnya dia menyampaikan bahwa pulsa itu dapat diganti dengan uang. Dia mengajukan tawaran uang tunai senilai pulsa yang dijanjikan di awal. Pada titik ini, rasa "curigation" (baca: curiga) saya meningkat.
Perubahan tawaran itu membuat kinerja insting saya makin cepat. Perubahan itu sudah meningkatkan keyakinan saya bahwa ada tendensi penipuan. Bagi saya, sangat tidak masuk akal saja ada perubahan mendadak seperti itu.
Namun saya merespon pura-pura setuju. Saya berusaha meyakinkan orang itu bahwa saya makhluk polos yang cepat ditipu. Saya berusaha agar dia tetap percaya bahwa saya adalah salah satu dari banyak manusia yang sedang membutuhkan uang.
Namanya juga uang. Walaupun seseorang memiliki uang banyak, kalau ada yang memberikan uang secara cuma-cuma, pilihan untuk menerimanya akan lebih besar daripada menolak. Hanya hantu dan dedemit yang tidak memerlukan uang. Bukankah demikian Kompasianer?
Beberapa tarikan napas berikutnya, sang penipu mulai bertanya soal rekening dan ATM. Saya bilang saja bahwa saya tinggal di tempat yang cukup jauh dari layanan ATM dan tidak memiliki ATM. Saya juga tidak tahu cara menggunakannya. Saya jelaskan bahwa saya terbiasa memegang uang tunai.