"Bagi orang-orang introvert, menyendiri dengan pikiran-pikirannya, sama restoratifnya dengan tidur atau sama bergizinya dengan makan" (Jonathan Rauch dalam Sutrisno:2020)
Hafeeza Muhammad adalah siswa kelas 3 di sekolah dasar tempat saya mengajar. Dia berasal dari keluarga utuh, tinggal bersama ibu dan ayahnya. Sang Ayah merupakan satu dari banyak penduduk setempat yang pernah bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Negeri Upin Ipin.
Hafeeza sekaligus menjadi salah seorang dari banyak siswa di sekolah saya yang dibesarkan tanpa didampingi oleh sosok ayah dalam masa tertentu. Sang ayah sempat beberapa tahun harus terbang menembus batas negara untuk bekerja demi memperbaiki kehidupan keluarganya. Sekarang ayahnya telah kembali dan berkumpul lagi secara utuh sebagaimana sebuah keluarga.
Banyak di antara siswa di sekolah saya yang ditinggalkan ayahnya sebagai pekerja migran saat masih dalam kandungan dan baru dapat mengenal sosok seorang ayah setelah mereka tumbuh menjadi anak-anak usia sekolah.
Hafeeza, bocah 9 tahun, tumbuh dengan wajah terlihat selalu pucat. Dia tampak seperti anak-anak yang selalu kelelahan. Tatapan matanya yang layu seolah selalu diserang kantuk.
Sejak masuk di kelas satu Hafeeza dikenal guru-guru sebagai pribadi penyendiri, pendiam, dan pemalu. Hafeeza juga cenderung sensitif, emosional, dan cepat menangis.
Bocah laki-laki itu salah satu dari banyak anak yang tertutup. Dalam kesehariannya di sekolah Hafeeza lebih banyak mengisolasi diri dari anak-anak lainnya. Saat teman-temannya bercanda, tertawa, dan saling bercerita, Hafeeza memilih termangu sendiri. Ketika anak-anak mengejar bola plastik dan bersorak histeris setelah menjebol gawang lawan, mata layu bocah laki-laki itu hanya menatap dengan pandangan datar, tanpa luapan perasaan apapun.
Jika dilihat perilaku kesehariannya, si Wajah Pucat Hafeeza memiliki ciri-ciri yang mencerminkan kepribadian introvert, sebuah kepribadian yang perilakunya menunjukkan kecenderungan untuk lebih fokus pada diri sendiri dan sering menghindar untuk melakukan interaksi sosial. Para introvert, secara umum, memiliki sedikit hubungan dengan orang lain.
Introvert pertama kali dipopulerkan oleh Carl Jung, seorang psikolog Swiss, yang hidup dalam periode akhir abad 19 sampai pertengahan abad 20 (1875-1961). Carl Jung, yang juga dikenal sebagai seorang filsuf, mempertentangkan kepribadian introvert dengan ekstrovert.
Ekstrovert di ujung yang berlawanan memiliki kepribadian yang suka bergaul, frekuensi interaksi relatif tinggi dalam kehidupan sosial.
Para ahli sepakat bahwa pribadi Introvert bukanlah sebuah kelemahan. Kepribadian ini--dimiliki oleh sekitar 40% populasi manusia--merupakan sebuah kepribadian yang dipengaruhi oleh kombinasi sifat bawaan dan pola pengasuhan. Bahkan sumber lainnya menyebutkan bahwa introvert sampai menyentuh angka 50% penduduk bumi.