Komisi Pemilihan Umum secara resmi telah menetapkan pelaksanaan pemilihan umum secara serentak melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Dalam peraturan itu diputuskan bahwa pesta demokrasi nasional akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Sebuah pesta politik lima tahunan yang dipercaya sangat menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.
Nuansa perpolitikan dari waktu ke waktu bergerak dinamis. Salah satu bentuk dinamika itu adalah kehadiran beragam profesi ke dunia politik. Salah satunya wara wiri orang-orang di dunia hiburan ke dunia politik atau sebaliknya telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan panjang perpolitikan Indonesia.
Fandy Hutari, seorang wartawan dan penulis, dalam detiknews, 2018, menuliskan bahwa beberapa tokoh politik Indonesia pernah mendedikasikan dirinya dalam dunia hiburan. Adnan Kapau Gani, misalnya, seorang politikus orde lama pernah membintangi film Asmara Moerni pada tahun 1948.
Fandy juga menyebut Sayuti Melik, seorang tokoh yang disebut-sebut dalam sejarah sebagai pengetik naskah proklamasi kemerdekaan, sempat didapuk untuk memerankan ayah Bing Slamet dalam film komedi lawas berjudul Bing Slamet Setan Djalanan.
Sayuti yang pernah menjabat sebagai DPR dari Fraksi Karya Pembangunan periode 1971-1976, ditawari secara mendadak oleh sutradara, Hasmanan, untuk memainkan peran itu saat menonton syuting.
Di era Orde Baru keterlibataan para pesohor dari dunia hiburan juga tidak dapat dilepaskan dari dunia politik. Hanya saja peran artis dalam era orde baru lebih banyak memposisikan diri sebagai juru kampanye. Mereka "diperalat" untuk memobilisasi massa dan mendulang suara saat pemilihan umum.
Setelah reformasi hubungan dunia politik dan dunia hiburan tetap bertahan. Namun dalam bentuk yang berbeda. Jika sebelumnya para artis hanya sebatas sebagai jurkam, kini mereka telah mengubah haluan menjadi politisi.
Sebagian tetap menjalani profesinya sebagai artis sambil berpolitik, sebagian lagi eksodus secara penuh sebagai politisi.
Nama-nama seperti Dede Yusuf, Rano Karno, Nurul Arifin, dan sederet nama artis lainnya adalah tokoh-tokoh dunia entertainment yang telah lama mencari peruntungan melalui jalur politik.
Sebagaimana nyalegnya artis, keberadaan menteri sebagai caleg juga telah lama menjadi bagian dari proses demokrasi. Sebagai publik figur, menteri memiliki modal popularitas dan elektabilitas. Inilah kemungkinan yang mendasari banyak partai memasang para artis dan menteri sebagai peserta kontestasi politik.
Fenomena artis dan menteri nyaleg, dengan demikian, sudah menghiasi wajah perpolitikan Indonesia. Secara umum tidak ada persoalan. Hal paling penting dari kompetitor adalah kompetensinya.
Pesta demokrasi merupakan ruang kompetisi, persaingan individu dan partai. Kompetisi, dengan demikian, memerlukan kekuatan, daya dukung, dan faktor finansial. Salah satu modal politik sebuah partai dan calon kompetitor dalam pemilu adalah popularitas.
Popularitas itu sendiri hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Mereka biasanya dari kalangan publik figur, sosok yang telah dikenal publik dan menjadi obyek perbincangan masyarakat luas.
Patut dipahami jika partai banyak memasang para pesohor untuk menangkup suara pemilih. Dengan popularitas yang melekat pada diri artis atau menteri akan memungkinkan para memilih, terutama kelompok emosional, menjatuhkan pilihan dan menambatkan harapannya pada calon yang diusung sebuah partai.
Pasar calon yang hanya mengandalkan popularitas biasanya cenderung mendapat simpati berasal dari pemilih emosional, pemilih yang menjatuhkan pilihan pada objek berdasarkan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir.
Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya. ras, dan agama, serta simbol-simbol lain. Pemilih emosional adalah mereka yang memilih calon berdasarkan faktor emosional atau perasaan pribadi, bukan berdasarkan pemikiran rasional. Salah satu faktor emosional yang dapat mempengaruhi pemilihan adalah popularitas calon.
Popularitas dapat meningkatkan elektabilitas. Tetapi ini hanya satu faktor saja. Di kutip dari tempo.co, elektabilitas terkait dengan kemampuan kandidat untuk mempengaruhi persepsi orang banyak untuk memilih dirinya. Maka popularitas tidak menjamin dapat meningkatkan elektabilitas.
Elektabilitas, dengan demikian, menyaran kepada persepsi pemilih tidak saja tentang popularitas tetapi juga visi dan misi yang jelas. Di samping itu, caleg harus didukung dengan rekam jejak, reputasi yang cemerlang, tidak saja menyangkut kehidupan pribadinya tetapi juga dalam kehidupan sosialnya.
Aspek penting lainnya adalah kemampuan komunikasi, kepedulian sosial, memiliki jaringan yang luas dan kuat, kemampuan kampanye yang efektif melalui media sosial, debat publik, atau pertemuan dengan pemilih secara langsung. Aspek tidak kalah penting adalah sangat tergantung pada kekuatan partai pengusungnya.
Biaya politik yang tinggi akibat permainan uang saat ini menjadi pertimbangan lain. Seorang caleg di sebuah kampung di desa saya melakukan aksi dengan melakukan perbaikan gang. Mungkin ini tidak termasuk kategori politik uang tetapi tetap saja caleg yang bersangkutan membutuhkan uang.
"Anda butuh suara kami, berikan kami sesuatu," demikian statement para calon pemilih baik secara terselubung maupun terang-terangan.
Sekali lagi menteri dan artis nyaleg tidak masalah yang penting bagaimana mereka mampu menjangkau suara pemilih dengan cara-cara yang positif. Hal terpenting adalah mereka dapat memberikan dampak yang signifikan sebagai wakil rakyat setelah terpilih.
Lombok Timur, 16 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H