Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Silakan Nyaleg, Asal Begini!

16 Mei 2023   15:58 Diperbarui: 29 Mei 2023   07:40 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu. (KOMPAS/HANDINING)

Sumber ilustrasi: KPU via Wikipedia
Sumber ilustrasi: KPU via Wikipedia

Sebagaimana nyalegnya artis, keberadaan menteri sebagai caleg juga telah lama menjadi bagian dari proses demokrasi. Sebagai publik figur, menteri memiliki modal popularitas dan elektabilitas. Inilah kemungkinan yang mendasari banyak partai memasang para artis dan menteri sebagai peserta kontestasi politik.

Fenomena artis dan menteri nyaleg, dengan demikian, sudah menghiasi wajah perpolitikan Indonesia. Secara umum tidak ada persoalan. Hal paling penting dari kompetitor adalah kompetensinya.

Pesta demokrasi merupakan ruang kompetisi, persaingan individu dan partai. Kompetisi, dengan demikian, memerlukan kekuatan, daya dukung, dan faktor finansial. Salah satu modal politik sebuah partai dan calon kompetitor dalam pemilu adalah popularitas. 

Popularitas itu sendiri hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu. Mereka biasanya dari kalangan publik figur, sosok yang telah dikenal publik dan menjadi obyek perbincangan masyarakat luas.

Patut dipahami jika partai banyak memasang para pesohor untuk menangkup suara pemilih. Dengan popularitas yang melekat pada diri artis atau menteri akan memungkinkan para memilih, terutama kelompok emosional, menjatuhkan pilihan dan menambatkan harapannya pada calon yang diusung sebuah partai.

Pasar calon yang hanya mengandalkan popularitas biasanya cenderung mendapat simpati berasal dari pemilih emosional, pemilih yang menjatuhkan pilihan pada objek berdasarkan identitas yang membentuk dirinya sejak lahir. 

Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya. ras, dan agama, serta simbol-simbol lain. Pemilih emosional adalah mereka yang memilih calon berdasarkan faktor emosional atau perasaan pribadi, bukan berdasarkan pemikiran rasional. Salah satu faktor emosional yang dapat mempengaruhi pemilihan adalah popularitas calon.

Popularitas dapat meningkatkan elektabilitas. Tetapi ini hanya satu faktor saja. Di kutip dari tempo.co, elektabilitas terkait dengan kemampuan kandidat untuk mempengaruhi persepsi orang banyak untuk memilih dirinya. Maka popularitas tidak menjamin dapat meningkatkan elektabilitas.

Elektabilitas, dengan demikian, menyaran kepada persepsi pemilih tidak saja tentang popularitas tetapi juga visi dan misi yang jelas. Di samping itu, caleg harus didukung dengan rekam jejak, reputasi yang cemerlang, tidak saja menyangkut kehidupan pribadinya tetapi juga dalam kehidupan sosialnya. 

Aspek penting lainnya adalah kemampuan komunikasi, kepedulian sosial, memiliki jaringan yang luas dan kuat, kemampuan kampanye yang efektif melalui media sosial, debat publik, atau pertemuan dengan pemilih secara langsung. Aspek tidak kalah penting adalah sangat tergantung pada kekuatan partai pengusungnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun