Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Suasana Ramadhan ketika Teknologi Masih dalam Rahim Sang Waktu

31 Maret 2023   17:46 Diperbarui: 31 Maret 2023   19:43 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Euforia Ramadhan bukan saja milik umat Islam dewasa melainkan juga anak-anak. Kegembiraan anak-anak itu terekspresi dalam rupa-rupa wujudnya. 

Kegembiraan itu terus hadir setiap tahun, setiap dekade, dari masa ke masa. Kegembiraan itu adalah kegembiraan yang sama, menyambut datangnya Ramadhan.

Semua kompasianer Muslim tentu pernah melewati pengalaman puasa Ramadhan pada masa kanak-kanak. Masing-masing kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda sesuai dekade kehidupan yang kita jalani.

Dalam banyak hal Ramadhan tahun 70-an memiliki kesamaan dengan tahun 80-an, tetapi berbeda dengan tahun 90-an. Memasuki abad 21, nuansa perbedaan itu makin berkembang. Saya sendiri mulai belajar puasa ketika duduk di kelas 2 atau 3 sekolah dasar. Saat itu sekitar tahun 80-an. 

Masih tergambar jelas dalam ingatan saya bagaimana menjalani Ibadah puasa kala itu. Informasi awal puasa atau 1 Ramadhan maupun 1 Syawal hanya diperoleh dari siaran radio. Demikian juga untuk mengetahui saat-saat berbuka puasa, sahur, atau shalat. Radio menjadi satu-satunya sumber informasi elektronik. Tidak semua orang memiliki radio. Televisi sendiri belum masuk kampung. Maka kalau orang kampung melihat televisi seperti melihat sebuah keajaiban. Mungkin sama dengan orang yang pada pada era 80-an jika diterbangkan menembus waktu menuju abad 21 akan melihat smartphone sebagai sebuah keajaiban.

Di samping radio, suara bedug juga menjadi media lainnya untuk yang menandai datangnya waktu-waktu tersebut. Jika bedug sudah dipukull 3 kali, itu pertanda waktu maghrib telah tiba.

Tidak ada listrik. Tidak semua masjid memiliki Toa. Toa itu merek tetapi begitulah orang-orang menyebut pengeras suara. Kalaupun ada, pengeras suara itu menggunakan aki 12 volt. Jika strumnya sudah habis aki itu dibawa kepada jasa strum. 

Puasa di kampung tidak dikenal ngabuburit ke tempat-tempat tertentu untuk menunggu waktu berbuka sebagaimana kebiasaan orang-orang sekarang. Kita, anak-anak, menanti maghrib dengan main kejar-kejaran di tanah lapang gerbang kampung. Pada hari yang berbeda kita bermain layang-layang di pematang atau tanah sawah retak-retak.

Di lain waktu kita bermain perosotan dengan pelepah pinang. Permainan paling populer bagi anak laki-laki adalah sepak bola. Bolanya dari gedebog pisang yang telah mengering. Gedebog itu digulung sampai membentuk bundaran sebesar bola. Agar gulungan tidak lepas diikat dengan simpul tali gedebong yang telah dipilin. Simpul tali itu melindungi permukaan bola.

Meriam bambu menjadi permainan khas saat itu. Maka menjelang sore dentuman meriam itu akan bersahutan dari tiap kampung. Anak-anak dari setiap kampung akan mengeluarkan meriam bambu yang dapat menimbulkan dentuman paling besar.

Menu berbuka saat itu sangat bersahaja. Tidak ada yang istimewa. Paling banter hanya kolak atau bubur. Kalaupun ada buah-buahan, hanya terbatas pada buah pepaya, mangga, pisang, atau jambu.

Menjelang sore, secara beramai-ramai kita mengumpulkan jerami, dedaunan, atau kotoran sapi yang telah mengering. Semuanya ditumpuk dan dibakar bersama ubi atau jagung untuk berbuka.

Tidak ada aktivitas berburu takjil ke pusat kuliner seperti saat ini. Berburu takjil itu ya mancing, menangkap belut, memanjat pohon mangga, jambu, ceremai, jowet. Dulu pepohonan itu tumbuh di pematang sawah untuk mencegah longsornya pematang. Kadang-kadang juga ditanam sebagai pembatas kampung atau di kebun-kebun warga. 

Sensasinya adalah ketika ketahuan pemilik yang kikir. Kita akan berhamburan lari tunggang langgang karena mengambil miliknya tanpa izin. Nyolong. Kalau ketemu pemilik yang lapang hati, paling-paling disuruh memilih buah yang sudah ranum.

Momentum tidak kalah lucunya kalau ibu sudah belanja ke pasar dan membeli penganan atau jajan untuk berbuka. Kita akan memilih yang terbaik dan menyimpan di lemari. Kadang-kadang makanan itu dibawa tidur. Atau sebentar-sebentar makanan itu ditengok untuk memastikan apakah masih ada atau tidak, diraba-raba lalu dicium-cium. 

Saat kekuatan menahan dahaga makin berkurang, kita punya akal bulus. Caranya berendam di kolam dan kumur-kumur. Sedikit air menerobos tenggorokan. Siapa yang tahu?

Menjelang Maghrib para ibu menyiapkan makanan. Saat waktu berbuka tiba semua anggota keluarga kumpul mengitari makanan berbuka. Makanan digelar di atas tikar pandan.

Semua orang tidak sabar. Aroma masakan ibu makin menggoyahkan pertahanan dari rasa lapar. 

Dalam siraman cahaya lampu teplok, kita berbuka dengan lahap. Saat berbuka kita berebut makanan dengan adik atau kakak. Di sinilah ibu hadir menjadi penengah.

Usai berbuka para laki-laki biasanya menuju teras sambil menyeruput kopi dan menghirup dalam-dalam asap rokok lintingan.

Saat adzan isya berkumandang atau bedug digebuk, semua orang menuju masjid, langgar, atau musholla. Anak-anak, remaja, orang tua berbondong-bondong untuk shalat tarawih. Sama dengan saat ini. Yang membedakan hanya penerangnya. Jika sekarang masjid dan langgar benderang dengan cahaya lampu listrik, saat itu diterangi lampu petromax.

Satu hal yang tidak berubah adalah semangat menjalankan ibadah puasa. Andai masa itu dibawa ke masa sekarang, saya dan kita semua tidak dapat membayangkan bagaimana kita menjalankan ibadah puasa. Orang-orang akan mengeluh karena tidak ada listrik, tidak ada jaringan internet, atau tidak ada gawai, bisa jadi sebagian orang akan merasa hidup dalam kekelaman.

Lombok timur, 31 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun