Dilansir dari katadata.co.id penduduk NTB yang mencapai 5,41 juta jiwa pada Juni 2021, terdiri dari 5,23 juta jiwa (96,83%) beragama Islam. Sebanyak 130,72 ribu (2,42%) penduduk NTB memeluk agama Hindu, 16,91 ribu (0,31%) beragama Buddha, 13,55 ribu jiwa (0,25%) beragama Kristen, dan 9,93 ribu (0,18%) beragama Katolik, dan sisanya Konghuchu.
Khusus umat Hindu, pemukiman mereka dapat ditemukan di wilayah kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Jika Anda kebetulan berkunjung dan berkeliling kota Mataram atau Lombok Barat, Anda akan menemukan rumah-rumah khas umat Hindu yang dilengkapi dengan fakta keagamaan mereka berupa sanggah (tempat sesajen), aroma asap dupa yang khas, atau semerbak harum bunga dalam sesajen.
Di samping fakta penduduk di atas, fakta keagamaan yang menunjukkan keberagaman itu adalah rumah ibadah. Pulau seribu masjid itu juga terdapat sejumlah pura, tempat ibadah umat Hindu.
Sejumlah pura, tempat peribadatan, tetap terjaga dengan baik. Di antara pura itu adalah Pura Meru di Cakranegara, Pura Batu Bolong di Senggigi, Pura Kelasa di Taman Narmada, Pura Lingsar di Lingsar Lombok Barat, dan Pura Gunung Pengsong, desa Kuripan, Labuapi Lombok Barat.
Tempat suci umat Hindu tersebut sampai saat ini masih terjaga dan berfungsi dengan baik sebagai bukti bahwa umat muslim Lombok sangat menghargai perbedaan keyakinan.
Bahkan pura Lingsar diketahui sebagai salah satu pura yang disakralkan oleh dua umat yang berbeda keyakinan, umat Hindu dan umat Islam Wetu Telu. (Tentang Islam Wetu Telu silakan kunjungi INDONESIA.GO.ID)
Di pura ini terdapat sebuah tempat yang dikenal dengan kemaliq Lingsar, sebuah mata air disakralkan oleh dua kelompok etnis, budaya, dan keyakinan yang berbeda.
Dua kelompok itu bersama-sama memiliki rasa tanggung jawab dalam menggunakan sebagai pusat ritual sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tempat sakral itu dijaga dan dipelihara melalui ritus keagamaan yang berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ini sebuah fenomena kehidupan kolektif dalam perbedaan keyakinan yang jarang ditemukan di belahan lain. Mereka saling menjaga dan saling menghormati.
Tempat yang disakralkan ini sekaligus juga dijadikan pusat interaksi keagamaan dan tradisi dua kelompok yang berbeda keyakinan itu melalui sebuah ritual yang dikenal dengan Perang Topat.
Tradisi Perang Topat telah menjadi ritual secara turun temurun yang mulai sejak abad ke 18. Tradisi ini dilaksanakan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah. Kegiatan perang topat ini diawali oleh ritual di kemaliq di pura lingsar. Kemudian masyarakat Hindu dan Islam melakukan tradisi saling lempar ketupat. Hal ini sebagai bentuk komunikasi dan kebersamaan antara warga Hindu dan Islam di Lingsar. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud toleransi dan moderasi di pulau Lombok.
Lombok Timur, 23 Maret 2023