Masjid dan mushalla merupakan rumah ibadah yang sangat dimuliakan dan suci bagi umat Islam, Sebagaimana umat lain memposisikan rumah ibadahnya masing-masing sebagai tempat sakral. Keberadaannya merupakan sebuah keniscayaan jika sebuah pemukiman dihuni banyak umat Islam.
Di Lombok khususnya, aktivitas pembangunan dan pengembangan masjid sangat tinggi. Hampir setiap perkampungan memiliki masjid. Di desa saya sendiri, terdapat 7 buah masjid. Belum lagi mushola atau langgar kecil yang didirikan masyarakat yang rumahnya agak renggang dari masjid.
Harus diakui bahwa semangat membangun dan mengembangkan masjid selalu direspon dengan antusias oleh masyarakat muslim tentunya. Mulai dari perencanaannya, jika mendapatkan undangan rapat rencana pembangunan atau renovasi masjid, tingkat kehadiran warga cukup tinggi dibandingkan undangan rapat lainnya.
Pada pengerjaan masjid secara swadaya, jika masyarakat diminta sumbangan untuk biaya pembangunan atau perbaikan masjid, mereka akan berupaya menyisihkan uangnya sebisa mungkin agar dapat mengambil bagian dalam memberikan donasi. Kaya, miskin, dan pengangguran semuanya memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Di beberapa masjid yang saya ketahui, kerap kali panitia yang ditunjuk merencanakan dan melakukan pembangunan menerima sumbangan berupa semen, pasir, besi beton, dan material bangunannya tanpa tahu siapa penyumbangnya. Penyumbang itu tokoh misterius.
Sebuah toko bangunan yang cukup besar di daerah saya memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengambil bahan material pembangunan masjid atau mushalla dan membayarnya kapan saja jika saat uang sudah ada.
Saat pengerjaan juga demikian. Keterlibatan warga sangat luar biasa. Mereka menunjukkan antusias yang begitu tinggi jika diajak bergotong royong untuk mengerjakan masjid.
Kehadiran warga selalu membludak. Semua orang seakan tidak ingin ketinggalan memberikan partisipasi terbaiknya. Pada hari gotong royong para laki-laki dan perempuan akan meninggalkan segala aktivitas lainnya agar dapat hadir di masjid untuk mengambil bagian dari kegiatan itu.
Saat laki-laki bekerja, ibu-ibu dan remaja putri datang membawa berbagai makanan dan minuman. Mereka sibuk menyiapkan kopi, teh, jajanan, minuman, dan konsumsi lainnya.
Pada masjid yang pengerjaannya dilakukan secara swadaya, tentu tidak semua pekerjaan dilakukan secara gotong royong. Dibutuhkan tukang-tukang profesional untuk menyelesaikannya. Misalnya, pembuatan konstruksi besi, pembuatan gisting, atau pemasangan keramik, dan bagian-bagian tertentu yang memerlukan keahlian.
Jika tukang itu berasal dari pemukiman setempat, biasanya mereka tidak mengambil ongkos. Jikapun diupah mereka hanya dibayar seadanya.
Kondisi di atas menunjukkan bahwa kepedulian umat Islam terhadap keberadaan rumah ibadahnya sangat tinggi. Namun, pada saat yang sama, keadaan itu sangat kontras dengan upaya umat untuk memakmurkan masjid. Memakmurkan masjid merupakan upaya menempatkan fungsi masjid secara bersama sebagai tempat ibadah. Memakmurkan masjid berarti upaya meramaikan masjid dengan aktivitas ibadah sehari-hari. Salah satunya ibadah shalat.
Dalam perjalanan ke luar kota, saya kerap singgah di masjid saat waktu shalat tiba. Sebagai pulau yang dijuluki pulau seribu masjid, tidak sulit menemukan masjid di pulau Lombok. Ada rasa lega dan nyaman jika sudah menunaikan ibadah shalat lalu melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.
Satu hal yang selalu saya perhatikan bahwa ternyata, masjid belum difungsikan secara maksimal. Hal ini ditandai dengan jumlah orang yang shalat berjamaah setiap waktu. Ada semacam anomali, kondisi yang kontras dengan antusiasme masyarakat dalam keterlibatannya membangun masjid.
Saat pengerjaannya masyarakat demikian bersemangat untuk mengambil bagian di dalamnya. Tetapi saat masjid harus dimakmurkan, ketika shalat lima waktu, jumlah umat yang datang ke masjid tidak sampai setengah shaf. Banyak ditemukan shalat hanya satu dua makmum. Shaf lainnya hanya barisan karpet dan sajadah.
Hal ini tentu tidak terjadi pada semua masjid. Tetapi sebagian besar masjid menunjukan kondisi yang tidak makmur. Gelegar suara azan hanya disambut oleh beberapa orang di sekitar masjid. Ini tentu tidak sebanding dengan antusiasme dan biaya yang dibutuhkan untuk menegakkan menara suci. Masjid tampak seperti museum yang dikunjungi oleh orang-orang tertentu.
Apa yang terjadi di atas kerap dikeluhkan oleh para pemuka agama. Di balik kemegahan masjid dan gegap gempita suara azan hanya sedikit dari masjid tersebut yang benar-benar berfungsi secara maksimal. Apakah ini salah satu pertanda cara beragama yang keliru? Semuanya tentu kembali kepada masyarakat Muslim sebagai pemilik masjid.
Lombok Timur, 13 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H