Keluarga tentu bukan satu-satunya. Banyak ahli yang meyakini bahwa munculnya perilaku kekerasan pada seseorang disebabkan oleh alkohol dan obat-obatan, tekanan sosial, kekerasan dalam keluarga (kekerasan dalam rumah tangga). Pemicu lainnya adalah tontonan yang disajikan oleh media.
Masih dari buku yang sama, riset tahun 1999 oleh George Gerbner dari University of Pennsylvania ditemukan bahwa maraknya tayangan berbau kekerasan pada media televisi membuat emosi anak-anak menjadi rentan terhadap perilaku serupa. Anak-anak menjadi lemah menghadapi tekanan dan rasa sakit lalu melampiaskannya melalui sikap agresif dan anarkis.
Gerbner pada masa itu menempatkan televisi sebagai tersangka utama dan paling bertanggung jawab terhadap maraknya kekerasan dalam dunia remaja.
Kekerasan sebagai Komoditi
Pesan tersirat dari Gebrner adalah tayangan kekerasan pada televisi pada masanya memiliki pasar.
Harus diakui bahwa peristiwa kekerasan menjadi salah satu objek yang kerap menarik bagi banyak orang. Setiap orang selalu memiliki sifat ingin tahu tentang peristiwa penganiayaan, pemukulan, perkelahian, perusakan, dan tindakan serupa lainnya. Kondisi ini sering dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengambil keuntungan.
Saat ini media televisi bisa saja mengalami penurunan peminat akibat pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi. Hal ini disebabkan keberadaan media sosial yang menggeser peran televisi. Medsos menjadi salah satu instrumen yang memungkinkan seseorang dapat mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan bumi. Informasi itu menyelinap ke beranda, dapur, ruang makan, sampai tempat tidur.
Tayangan berbagai platform media sosial telah memberikan akses tanpa batas bagi penggunanya. Lebih dari itu beberapa platform itupun menawarkan keuntungan finansial kepada pegiatnya dengan membuat konten yang menarik. Salah satunya, peristiwa kekerasan. Dengan mengandalkan rating tinggi, penggunanya tidak segan-segan menarik perhatian banyak orang melalui tontonan kekerasan. Tontonan yang mempersembahkan kebrutalan, arogansi, dan perilaku semacam itu saat ini menjadi ladang penghasilan yang menggiurkan, dengan satu catatan, tentu masih banyak tayangan perilaku positif lainnya yang dapat memberikan pesan-pesan positif terhadap banyak orang.
Namun, tetap harus diwaspadai bahwa dengan banyaknya tontonan kekerasan telah, secara niscaya, memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Orang makin gampang marah, sikap menghargai orang lain makin berkurang, hilangnya empati kepada sesama merupakan resiko yang harus ditanggung manusia dari perkembangan teknologi informasi yang berkembang.
Itu berarti bahwa anak-anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang damai dan menjalani keseharian dalam ketentraman dapat berpotensi terpapar nilai-nilai kekerasan melalui konten yang mengabaikan prinsip-prinsip edukatif.
Mencegah Kekerasan
Gagasan Tripusat Pendidikan dari Ki hajar Dewantoro yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menekan betapa pentingnya peran tiga lembaga yang berhubungan dengan dunia pendidikan, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat.
Mencegah kekerasan yang dilakukan oleh remaja harus dimulai dari keluarga. Benteng utama ada di sini. Orang tua menempati posisi sentral dalam melakukan tindakan preventif atas munculnya perilaku kekerasan pada anak-anak.