Saya menatap Bibi. Ada kegembiraan di balik masker yang menutup wajahnya. Kegembiraan bahwa Bibi akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Sebuah harapan sederhana bahwa Bibi akan menjalani penanganan medis dengan cara yang lebih serius.
"Keluarga Bu Sum," seorang petugas pendaftaran di depan pintu ruang pemeriksaan memanggil saat keluar dari ruangan dokter. Saya mendekat.
"Keluarga Bu Sum?"
"Ya. Saya keluarganya."
"Untuk keperluan rawat inap, Bapak harus menandatangani beberapa dokumen. Bagaimana Pak?" tanya petugas itu.
"Iya. Mana yang harus saya tanda tangani?"
Petugas itu menyodorkan dokumen. Saya tidak membacanya karena saya yakin dokumen itu menyangkut persyaratan administratif pihak rumah sakit.
Dua malam bibi mendapatkan perawatan dan diperbolehkan pulang karena kondisinya dianggap sudah membaik. Selanjutnya bibi menjalani rawat jalan secara berkala. Sebelum pulang pihak rumah sakit menyarankan agar Bibi mengajukan surat rujukan ke puskesmas agar BPJS bisa digunakan.
"Mudah-mudahan Puskesmas bisa memberikan rujukan," kata Bibi penuh harap.
"Ini pengantar dari rumah sakit Bi. Pihak Puskesmas pasti memberikan. Bibi tenang saja. Nanti saya yang urus," saya menenangkan Bibi.
Sesuai petunjuk pihak rumah sakit saya mengantar bibi ke puskesmas untuk mengajukan rujukan rawat jalan dengan membawa surat pengantar dari rumah sakit. Saya menemani bibi sampai ruang dokter dimana beliau biasa ditangani di Puskesmas.
Setelah melakukan pendaftaran pengunjung, saya dan bibi menuju ruang pemeriksaan dan diterima petugas dan dokter. Saya menyampaikan permasalahan itu dan mengajukan rujukan kepada mereka dengan menunjukkan rekomendasi dari rumah sakit agar kartu BPJS dapat digunakan.