Beberapa malam yang lalu saya mendapat undangan zikir atau tahlilan untuk mendoakan salah seorang tetangga yang akan berangkat ke Malaysia untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang belakangan dikenal dengan PMI (Pekerja Migran Indonesia). Bersama teman-temannya, dia masuk ke Malaysia dengan menggunakan paspor dan visa pelancong. Dengan bantuan tekong/calo mereka akan bekerja pada sebuah perkebunan sawit.
Sehari sebelumnya sepupu saya terbang dari Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid (BIZAM) Lombok ke Kuala Lumpur Malaysia dengan tujuan yang sama, menjadi TKI atau PMI.
Beberapa hari ke depan, tiga orang warga lainnya rencananya akan meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Mereka akan melayang melintasi batas negara menuju negeri Paman Razak untuk menjadi TKI.
Mereka pergi meninggalkan keluarga karena kehidupan di kampung halamannya hampir tidak tersedia ruang untuk mempertahankan hidup, tidak ada pekerjaan yang cukup menjamin kesejahteraan hidup keluarganya; membiayai pendidikan anak, atau membangun rumah yang lebih layak huni bagi sebuah keluarga.
Sebagian mereka memang memiliki lahan pertanian yang dapat digarap. Namun, rata-rata lahan garapan itu tidak luas. Hasilnya tidak cukup untuk menghidupi anak istri atau, bagi yang masih lajang, mereka harus memiliki cadangan biaya nikah dan membuat rumah yang layak sebagai kebutuhan dasar hidup berkeluarga. Sementara itu, kebutuhan dan biaya hidup juga semakin berkembang.
Malaysia merupakan negeri tujuan utama sebagian besar anak-anak muda pedesaan Lombok untuk bekerja. Selepas SMA, anak-anak putus sekolah, bahkan, anak-anak muda dengan ijazah sarjana banyak menyandarkan kehidupan dan masa depan mereka sebagai tenaga kerja.
Jika tidak mampu melanjutkan kuliah selepas SLTA, mereka memilih jalan satu-satunya untuk dapat menghasilkan uang, menjadi tenaga kerja migran.
Satu dua orang memilih Jepang, Taiwan, atau Korea Selatan sebagai negara tujuan. Namun, pekerja dengan tujuan negera ini jarang karena tidak saja proses seleksinya cukup ketat juga biayanya bisa mencapai Rp 50-60 jt. Biaya yang cukup pantastis untuk anak-anak muda di kampung saya.
Alasan mereka lebih memilih menjadi pekerja ke Malaysia karena untuk masuk ke negeri Upin Ipin itu tidak terlalu sulit. Persyaratannya saat ini, menurut teman-teman saya di kampung, hanya berumur 18-38 tahun dan berbadan sehat. Ijazah tidak terlalu dipermasalahkan. Asal memiliki otot kekar dan kuat mengangkat beban. Mereka bekerja pada perkebunan, peternakan, atau bangunan.
Di Malaysia, berdasarkan penuturan mereka, para TKI akan bertemu dengan banyak pekerja dari berbagai daerah di Nusantara. Mereka masuk ke Malaysia memilih cara resmi atau ilegal.