Saya bukan termasuk orang yang suka menggenapkan diri dengan wangi-wangian. Karena merasa tidak dirundung kelainan bau badan, saya merasa tidak perlu menyemprot diri dengan pewangi. Sejauh ini saya belum dapat mengingat apakah saya pernah membeli parfum atau wewangian.
Siang tadi saya "dipaksa" keadaan untuk pertama kalinya saya membeli pewangi tubuh. Ini bermula ketika saya makan soto di sebuah PKL.
Saat sedang menunggu pesanan, seorang remaja bertubuh tambun datang dengan langkah kaki yang berat. Sebut saja Dedi. Langkah kakinya bagai mengenakan sepasang sepatu besi dengan berat puluhan kilogram. Atau lebih mirip seseorang yang tengah melangkah dengan kaki terbenam lumpur sampai lutut.
Sejenak saya memperhatikan organ gerak Dedi. Tampak kakinya tidak normal. Bersusah payah remaja itu melangkah baru bisa sampai ke tempat saya sedang duduk. Dedi menyeka keringat bercucuran pada pelipisnya. Napasnya tersengal. Remaja itu seakan telah menempuh perjalanan puluhan kilometer bagi orang normal. Dengan kaki yang tidak normal itu, bobot tubuhnya saja telah memberikan beban lumayan berat. Beban itu ditambah lagi dengan tas di punggungnya.
Dia menurunkan tas dari punggungnya lalu dengan sikap permisif duduk di dekat saya. Tas itu dibukanya. Dikeluarkan sebuah kotak persis ketika soto pesanan saya disajikan. Saya menawarkan soto tetapi remaja itu menolak dengan santun.
Beberapa saat kemudian dari kotak itu dia keluarkan sebuah botol. Rupanya remaja itu sedang jualan parfum. awalnya saya berpikir hendak menolak tetapi batin saya menentang pikiran itu. Saya ingat kembali bagaimana susahnya Dedi berjalan hingga bisa mencapai tempat duduk di dekat saya.
Dedi mengaku menjalani pekerjaan sebagai salesman parfum sebuah perusahaan. Saya manggut-manggut mengagumi kegigihanya. Dengan kondisi fisik seperti itu Dedi begitu bersemangat memilih bekerja daripada "menunggu bintang jatuh dari langit".
Setelah menerima pembayaran parfum yang saya berikan, Dedi bangun dengan susah payah. Dia kembali melangkahkan kakinya yang menopang bobot tubuh dan tas di punggungnya. Dua perempuan yang duduk satu blok dari tempat duduk saya menjadi sasaran Dedi. Saya mendengar Dedi menawarkan parfumnya tetapi sayang dua perempuan itu menolak.
Apakah Dedi tergolong penyandang disabilitas? Pertanyaan itu melintas dalam pikiran saya.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Bab I, Pasal 1, point 1, disebutkan bahwa "Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak."
Selanjutnya dalam point 2, dalam Pasal yang sama juga dirumuskan bahwa Kesamaan Kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada Penyandang Disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat.
Masih dalam UU nomor 8, pada Bab II pasal 4 dijelaskan tentang ragam disabilitas yang meliputi, 1) disabilitas fisik, 2) disabilitas intelektual, 3) penyandang disabilitas mental; dan/atau, 4). penyandang disabilitas sensorik.
Berdasarkan UU di atas, berarti dapat dipastikan bahwa Dedi termasuk dalam salah satu ragam penyandang disabilitas. Dilansir dari spa-pabk.kemenpppa.go.id, disabilitas atau kelainan fisik, terdiri dari, tuna daksa (kelainan tubuh), tuna netra (kelainan indera penglihatan). tuna rungu (kelainan pendengaran) dan. tuna wicara (kelainan bicara).
Melihat disabilitas yang disandangnya, saya memberanikan diri menyimpulkan bahwa Dedi termasuk dalam penyandang disabiltas fisik, yaitu, individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
Jika mengacu kepada pasal 1 point 2 di atas, Dedi pada dasarnya telah mendapatkan kesempatan atau akses untuk menyalurkan potensinya di tengah kehidupan masyarakat. Perusahaan tempat Dedi bekerja telah memberikan kesempatan kepada kelompok penyandang disabilitas untuk bekerja sebagaimana individu yang hidup dengan fisik normal.
Hanya saja, menurut saya pribadi, perusahaan terkesan mengeksploitasi kondisi Dedi. Disabilitas yang disandang Dedi seakan dimanfaatkan pihak perusahaan untuk memancing empati pembeli. Dengan begitu target penjualan bisa tercapai. Ini tentu sangat tidak manusiawi. Memanfaatkan disabilitas untuk meraup keuntungan.
Sebagaimana saya sampaikan di awal tulisan, bahwa saya membeli parfum bukan karena saya membutuhkannya tetapi karena kasihan melihat kondisi Dedi. Seharusnya perusahaan menempatkan Dedi pada bidang pekerjaan yang tidak membutuhkan kerja organ gerak yang massiv. Untuk berjalan beberapa meter saja Dedi sangat berat. Apalagi harus menempuh belasan meter untuk menawarkan parfumnya. Perusahaan sebenarnya bisa saja menempatkan Dedi pada bagian pencatatan barang atau pekerjaaan lain di dalam ruangan.
Lombok Timur, 16 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H