Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sesisir Pisang Kepok, Sebuah Berkat

7 September 2022   19:47 Diperbarui: 7 September 2022   21:02 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa saya pulang paling akhir. Hari itu tidak ada Wildan, penjaga. Dia menghadiri undangan hajatan pernikahan salah seorang keluarganya. Dalam acara itu pula dia didapuk menjadi juru masak. Satu catatan tentunya, Wildan sudah memberikan permakluman beberapa hari sebelumnya.

Saya menelepon untuk menanyakan keberadaannya. Benar saja. Katanya dia sedang berada di tempat pesta, tepatnya dekat tungku.

Saya membayangkan Wildan sedang tersenyum memamerkan giginya saat sedang menerima telpon dari saya. Biasanya begitu. Wildan tidak pernah cemberut. Selalu terlihat ceria dalam berbagai kondisi. Wildan seperti makhluk amphibi, selalu bisa menyesuaikan diri kapan saja dan di mana saja.

Hari itu, terbayang pula, pria yang mulai suka tampil dengan kepala botak itu berangkat pagi sekali bersama istrinya yang duduk di jok belakang motornya. Sebuah baskom dibuntel selembar kain berada di pangkuan sang istri. Baskom itu berisi beras dan gula yang dibawa sebagai tanda kehadirannya untuk memenuhi undangan hajatan.

Itulah salah satu kebiasaan masyarakat Sasak. Kalau menghadiri begawe (pesta) mereka biasanya membawa bakul berisi beras, gula, buah-buahan, atau bahan makanan ke tempat undangan. 

Kebiasaan itu membuat kebutuhan sembako tidak saja untuk makan sehari-hari. Tradisi menghadiri undangan begawe (pesta) menjadi penyebab meningkatnya kebutuhan pangan. Kebutuhan bahan makanan pokok kerap tidak dapat diperkirakan. 

Jika bulan tertentu hajatan sedang ramai, ibu-ibu harus bersiap-siap menguras isi telekuh (tempat penyimpanan beras terbuat dari tanah liat: Sasak). Adalah hal "tabu" datang ke tempat undangan dengan tedong ime (berpayung tangan). Dalam kalimat lain, sangat tidak nyaman rasanya datang dengan ajong ime (berjalan mengayunkan tangan tanpa membawa sesuatu).

Tradisi yang sama mungkin bisa ditemukan di belahan lain bumi Nusantara ini. Kedengarannya terkesan boros tetapi itulah budaya warisan nenek moyang yang telah berlangsung dari generasi ke generasi.

Apakah itu beban hidup? Jelas bukan. Sebaliknya, akan menjadi kepuasan tersendiri jika menghadiri undangan apalagi bisa membawa sesuatu. Bawaan itu diharapkan bisa mengurangi beban pemilik hajatan.

Sebuah sepeda motor terdengar masuk gerbang halaman. Rupanya isteri Wildan.

Kedatangannya membawa baskom. Isinya berkat (makanan yang dibawa dari tempat begawe). Ibu-ibu pulang dari begawe biasa membawa pulang baskom. Isinya berkat (makanan berupa nasi jajan yang diberikan tuan rumah).

Sebaskom nasi, ares dan masakan daging dibungkus plastik. Berkat itu digenapkan dengan sesisir pisang kepok.

Lombok Timur, 07/09/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun