Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tembakau, antara Bisnis Menggiurkan dan Kerusakan Lingkungan

6 September 2022   21:09 Diperbarui: 14 September 2022   13:36 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang lebih seminggu tumpukan potongan kayu ini sudah berada di pinggir jalan. Kayu ini terletak sekitar 50 meter sebelum sampai di gerbang sekolah.

Untuk apa? Kayu bakar tentu saja. Sebanyak itukah? Memang banyak. Namun, bukan untuk kayu bakar rumah tangga. Bukan untuk memasak nasi, membakar ikan, atau memanggang ayam. Sekali lagi bukan.

Tumpukan kayu itu merupakan bahan bakar tungku pengeringan tembakau virginia para petani. Mereka menggunakan kayu menjadi salah satu alternatif bahan bakar tungku. Penggunaannya sudah berjalan bertahun-tahun. 

Pada musim panen tembakau merupakan pemandangan yang lazim ditemukan gundukan kayu bakar di banyak tempat di Lombok. Kayu itu dipotong-potong sepanjang setengah sampai satu meter agar lebih mudah dimasukkan ke dalam tungku oven. Kayu yang diameternya lebih besar dibelah lebih kecil lagi.

Tembakau tidak dipetik lalu dijual begitu saja kepada perusahaan. Setelah pemetikan dilakukan pengeringan terlebih dahulu agar nilai penjualan lebih maksimal. 

Pemetikan dimulai pada daun paling bawah. Petani menyebutnya daun tanah. Umumnya pemetikan perdana dilakukan ketika tembakau berumur 60-70 hari.

Daun-daun itu kemudian diikat pada sebuah potongan kayu atau bambu dengan diameter sekitar 3 cm. Potongan kayu sepanjang kurang lebih 2 meter itu disebut gelantang. 

Daun tembakau yang sudah diikat kemudian ditempatkan pada rak dalam oven yang telah disiapkan. Di bawah rak ditempatkan tungku pemanas oven untuk mengeringkan daun tembakau. Proses pengeringan atau pengomprongan.

Dalam proses pengomprongan petani menggunakan bahan bakar yang berbeda-beda. Dulu petani rata-rata menggunakan minyak tanah. Namun, adanya kebijakan konversi minyak tanah ke LPG membuat minyak tanah mengalami kelangkaan. Petani kemudian beramai-ramai beralih menggunakan kayu bakar. Sebagian petani mengklaim penggunaan kayu lebih ideal dalam pengomprongan karena panasnya dapat diatur sesuai kebutuhan.

Sebuah sumber menyebutkan bahwa kebutuhan kayu untuk satu oven setiap musimnya bisa mencapai 3-5 truk. Tidak perlu kalkulator untuk menghitung kubikasi kayu bakar yang diperlukan untuk dua, tiga buah oven, atau kelipatannya.

Kebutuhan kayu yang sangat tinggi dalam proses pengomprongan tembakau bermuara pada meningkatnya angka penebangan pohon. Kayu yang ditebang memang bukan dari hutan tetapi ditebang dari perkebunan berupa pohon-pohon  yang tidak produktif atau persawahan penduduk, seperti, pohon mangga, jambu mete, beringin, atau pohon asam. 

Menurut para pengomprong, kayu asam merupakan bahan bakar paling baik karena bersifat keras dan menghasilkan panas yang lebih tahan lama. Pohon ini tergolong paling dicari para petani.

Terlepas dari tanaman produktif atau tidak, tetap saja penebangan pohon untuk digunakan sebagai bahan bakar dengan jumlah yang begitu banyak, secara niscaya, akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan.

Sejak tahun 2009, pemerintah daerah NTB dan perusahaan tembakau telah melakukan upaya untuk menggunakan  batu bara sebagai bahan bakar omprongan.[1] Selain batu bara, alternatif lain yang direkomendasikan pemerintah dan pihak terkait adalah cangkang kemiri dan arang kelapa.

Walaupun sejumlah bahan bakar telah ditawarkan sebagai alternatif lain setelah Mitan dan kayu, petani lebih banyak memilih kayu karena harganya lebih murah.

Salah satu metode yang digunakan perusahaan adalah penanaman pohon yang diperuntukkan sebagai bahan bakar omprongan. Pohon-pohon itu ditanam pada lahan tidak produktif atau titik lahan persawahan yang kosong, seperti pematang. Namun, upaya ini belum mampu meminimalisir penebangan pohon-pohon yang sudah ada.

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar semua kita tahu bahwa penebangan pohon secara masiv akan berdampak pada lingkungan.

Begitulah bisnis tembakau. Di satu sisi, mampu mendongkrak kesejahteraan petani. Di sisi lain, proses produksinya menyisakan kerusakan lingkungan yang bisa berakibat mengerikan.

Lombok Timur, 06/09/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun