Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mencangkul, Menyekop, dan Mendorong Kereta dengan Roda tanpa Angin

1 September 2022   13:11 Diperbarui: 1 September 2022   13:19 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Cuaca cerah. Matahari mulai menyengat. Satu jam sebelumnya saya kedatangan pengawas di sekolah. Kedatangannya tentu saja untuk melaksanakan fungsi kepengawasannya, salah satunya melakukan pengawasan dan pembinaan. Satu jam ngobrol, kami mendiskusikan sejumlah permasalahan dan program sekolah.

Sambil mengantarkan kepergian pengawas saya keluar ruangan untuk melemaskan bokong yang terasa penat akibat duduk agak lama. Saya melangkah menuju ke salah satu bagian halaman sekolah untuk mengontrol kerja penjaga sekolah yang tengan membersihkan salah satu sisi area lingkungan sekolah. 

Area itu adalah tempat pembuangan sampah. Tempat itu kumuh dan tidak terawat. Sebuah akar pohon mengering yang telah ditebang. Akar iru seolah tumbuh setelah diratakan. Di sampingnya, ada tutup beton tanki septik dan  bak resapan tak terpakai. 

Sudah 3 sampai 4 hari penjaga mengerjakannya sendiri tanpa bantuan siapapun. Sesekali saya bersama siswa membantunya saat waktu istirahat. Rupanya untuk menyelesaikannya butuh waktu lebih dari itu. Tidak saja membersihkan dan membakar sampah tetapi juga meratakan area dari timbunan puing bangunan. 

Puing itu lalu dibawa dengan kereta dorong untuk digunakan menimbun tempat parkir yang juga sedang mengalami perbaikan. 

Rencananya di tempat itu akan dibuat tempat penampungan sekaligus pemilahan sampah organik dan nonorganik. Sebagian area direncanakan sebagai kebun sekolah dan apotik hidup. Area itu sudah cukup kalau hanya sekadar memenuhi media belajar berbasis  lingkungan bagi anak-anak.

Tampak penjaga sekolah sedang asyik melakukan pekerjaannya. Melihat tempat itu, saya memperikaran 75% sudah rata dan bersih. Mungkin dalam satu dua hari proses pembersihannya sudah selesai.

Sebuah cangkul tua dan sekop bersandar di dinding. Mata cangkul tua itu hanya separuh dari cangkul ukuran normal. Mungkin sudah dipotong atau memang pemakaiannya sudah lama sehingga membuat ukurannya menciut. Saya melangkah ke arah dua benda itu. 

Saya mengambil cangkul dan mulai meratakan tanah dan membuat timbunan. Berulang kali saya mengayunkan cangkul sampai gundukan tanah cukup untuk dinaikkan ke dalam kereta dorong.

Selanjutnya saya mengambil sekop dan memindahkan timbunan tanah ke kereta. 

Tanah itu bercampur dengan puing bangunan berupa potongan batu bata, campuran semen pasir yang telah mengering, dan sejumlah sampah yang tidak sempat dibakar. 

Beberapa kali ujung sekop tidak bisa masuk ke dalam timbunan karena terbentur benda-benda keras. Sangat tidak menyenangkan rasanya ujung sekop menumbuk benda keras. 

Ayunan sekop terpaksa diulang lagi agar lebih banyak memuat timbunan. Untuk membuat kereta dorong penuh dengan timbunan ternyata membutuhkan energi yang tidak sedikit. 

Seperti jeruk sedang diperas secara perlahan, keringat saya mulai keluar bersama ayunan sekop berisi tanah. 

Saya mulai ngos-ngosan; napas tersengal. Tubuh mulai panas. Setelah penuh saya mendorong kereta menuju tempat parkir. 

Dokpri
Dokpri

Dorongan itu terasa berat. Setidaknya itu yang saya rasakan. Roda kereta menggunakan roda buntu tanpa angin. Ada yang menyebutnya roda mati. Roda tanpa angin cenderung kaku, sulit menggelinding, dan daya cengkeram tidak sekuat ban dengan menggunakan udara. Akibatnya, beban menjadi lebih berat sehingga energi yang dibutuhkan untuk mendorongnya juga lebih besar.

Saya mengulangnya beberapa kali. Mencangkul. Menaikkan tanah ke dalam kereta. Mendorong kereta dengan beban tanah yang menggunduk. 

Pada saat yang sama pikiran saya berkeliaran ke sana ke mari. Saya membayangkan para pekerja di bawah sengatan sinar matahari. 

Di mata saya tampak para petani, kuli panggul di pasar, pekerja gudang dengan beban berat di pundak, atau pekerja bangunan yang tengah menggali lubang pondasi atau mengaduk semen secara manual.

Lombok Timur, 01/09/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun