Tanah itu bercampur dengan puing bangunan berupa potongan batu bata, campuran semen pasir yang telah mengering, dan sejumlah sampah yang tidak sempat dibakar.
Beberapa kali ujung sekop tidak bisa masuk ke dalam timbunan karena terbentur benda-benda keras. Sangat tidak menyenangkan rasanya ujung sekop menumbuk benda keras.
Ayunan sekop terpaksa diulang lagi agar lebih banyak memuat timbunan. Untuk membuat kereta dorong penuh dengan timbunan ternyata membutuhkan energi yang tidak sedikit.
Seperti jeruk sedang diperas secara perlahan, keringat saya mulai keluar bersama ayunan sekop berisi tanah.
Saya mulai ngos-ngosan; napas tersengal. Tubuh mulai panas. Setelah penuh saya mendorong kereta menuju tempat parkir.
Dorongan itu terasa berat. Setidaknya itu yang saya rasakan. Roda kereta menggunakan roda buntu tanpa angin. Ada yang menyebutnya roda mati. Roda tanpa angin cenderung kaku, sulit menggelinding, dan daya cengkeram tidak sekuat ban dengan menggunakan udara. Akibatnya, beban menjadi lebih berat sehingga energi yang dibutuhkan untuk mendorongnya juga lebih besar.
Saya mengulangnya beberapa kali. Mencangkul. Menaikkan tanah ke dalam kereta. Mendorong kereta dengan beban tanah yang menggunduk.
Pada saat yang sama pikiran saya berkeliaran ke sana ke mari. Saya membayangkan para pekerja di bawah sengatan sinar matahari.
Di mata saya tampak para petani, kuli panggul di pasar, pekerja gudang dengan beban berat di pundak, atau pekerja bangunan yang tengah menggali lubang pondasi atau mengaduk semen secara manual.
Lombok Timur, 01/09/2022