Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sisi lain Peringatan HUT ke-77 RI di Sekolah

18 Agustus 2022   22:05 Diperbarui: 18 Agustus 2022   22:10 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pembina upacara memasuki lapangan upacara, Pemimpin upacara menyiapkan barisan," 

Pembawa acara membacakan salah satu susunan upacara bendera dalam rangka peringatan HUT ke-77 kemerdekaan RI, yang dilaksanakan di halaman SD Negeri 1 Embung Kandong, Lombok Timur. Bagian ini dibaca sesaat setelah pengatur upacara menyampaikan laporan bahwa upacara akan segera dilaksanakan.

Pembina upacara berjalan menuju lapangan diikuti oleh pengatur upacara. Pembina upacara memilih berdiri di depan barisan peserta. 

Pengatur upacara kemudian meninggalkan pembina upacara. Pada saat yang sama, petugas pembawa naskah Pancasila memasuki lapangan. Kakinya menghentak mantap pada langkah pertama. Langkahnya tegap sebagaimana petugas upacara pada umumnya. Ketiaknya menjepit sebuah map.

Petugas pembawa naskah Pancasila berjalan menuju pembina upacara. Sebagaimana aturan upacara dia berdiri di samping kiri pembina upacara.

Secara keseluruhan petugas upacara, terdiri dari guru dan siswa, menjalankan tugasnya dengan baik. Kepala sekolah dengan posisi sebagai pembina upacara, guru kelas 4 sebagai pengatur, dan guru olahraga sebagai pemimpin upacara. Petugas pengibar bendera dilakukan guru kelas 1, guru kelas 3 dan seorang siswa. Sedangkan pembaca Pembukaan UUD 1945 diserahkan kepada guru kelas 5. Dua orang guru tidak dapat mengikuti upacara karena salah seorang sedang sakit dan seorang lainnya minta ijin untuk sebuah keperluan yang sangat penting.

Ada keterlibatan praktisi pendidikan dalam upacara. Mereka merupakan pelatih seni di sekolah. Dua praktisi itu bertugas sebagai pembawa acara dan pembaca doa.

Peserta upacara, yang terdiri dari siswa kelas 1 sampai kelas 6, mengikuti upacara dengan serius. Tampak mereka memperhatikan setiap gerakan masing-masing petugas. Semua guru sepakat untuk menjadi petugas upacara bersama siswa. Pembawa naskah Pancasila yang biasa ditugaskan kepada siswa, pagi itu dijalankan penjaga sekolah, Wildan.

Pagi-pagi sekali Wildan sudah datang dengan baju kaos putih oblong. Sebelumnya saya memberikan Wildan secarik baju putih. Baju itu kebesaran sehingga dia tidak memakainya.

Bagian bawah tubuhnya dibalut sehelai celana jeans ketat warna biru. Kepala plontosnya, dengan rambut 1 mm, ditutupi kopiah hitam, songkok khas nasional. Sepasang sepatu keds tanpa kaos menutupi kakinya. Keds itu terlihat agak lusuh.

Pagi itu saya juga membawa sepatu pantofel masih layak pakai untuk digunakan saat upacara bendera. Wildan menerimanya penuh girang bagai bocah mendapatkan mainan. Karena sudah terlanjur menggunakan sepatu keds Wildan tidak menggunakan sepatu yang saya bawakan. Sepatu itu juga terlalu kumal karena lama di simpan di gudang.

Beberapa hari sebelumnya Wildan didapuk teman-teman di sekolah menjadi petugas upacara. Mendapatkan tugas itu, dia menanyakan tugas dengan antusias. 

"Apa tugas saya?" katanya antusias saat namanya disebut.
"Pembawa naskah Pancasila. Tugas itu paling gampang."
"Walaupun begitu saya perlu latihan," respon Wildan penuh semangat.
Lapor..!" Wildan mulai latihan melapor sambil berdiri siap di ruang kantor.
"Pembawa naskah itu tidak lapor," saya menjelaskan.
"Terus?"
"Hanya bawa map berisi naskah dan menyerahkannya kepada pembina upacara."
"O. Ya baru ingat. Waktu SD dulu pembawa naskah berdiri di belakang pembina upacara," Wildan dibawa ingatannya sendiri tentang pelaksanaan upacara saat masih sekolah dasar.
"Kalau begitu saya harus latihan jalan," tambahnya.

Rupanya Wildan tidak ingin berbuat kekeliruan saat upacara. Dia keluar halaman dan berlatih berjalan sesuai aturan upacara. Dengan arahan pembina ekstrakurikuler, Wildan berlatih bagaimana melaksanakan fungsinya sebagai petugas upacara.

Pagi itu dalam upacara pengibaran bendera Wildan telah berupaya maksimal untuk melakukan tugasnya secara sempurna.

"Pembacaan naskah Pancasila diikuti oleh seluruh peserta upacara."

Mendengar pembawa acara membaca bagian susunan upacara di atas, Wlidan bersiap. Dengan cekatan map naskah Pancasila yang menggantung ditangan kiri dan sejajar dengan pinggangnya naik sampai ke ketiak.

"Prak!" suara kaki kirinya menghentak keras. Selanjutnya kaki kanannya maju melangkah. Rupanya Wildan tidak memperhitungkan jaraknya dengan pembina upacara saat akan menyerahkan naskah yang dibawanya. Dia berjalan beberapa langkah hampir satu setengah meter di depan pembina upacara. 

Wildan balik kanan menghadap pembina. Karena terlalu jauh Wildan maju tiga langkah. Pada titik perhentiannya Wildan menurunkan map dari ketiaknya lalu menyodorkannya kepada pembina upacara. Wildan tampak membungkuk saat melakukannya. Posisinya berdirinya memang cenderung renggang.

Setelah menyerahkan map, Wildan kembali berjalan menuju ke samping pembina upacara. Kali ini langkahnya agak gugup, grogi. Itu terlihat dari gerakannya. Saat mengubah arah posisi berdirinya, Wildan terlihat bingung. Kedua kakinya seakan hendak maju bersama. Sepasang kaki itu persis dua orang yang sedang berebut giliran tanpa menggunakan nomor antrean.

Di luar tugasnya sebagai penjaga sekolah, dia juga bekerja sebagai tukang bangunan. Pekerjaan itu membuat Wildan, yang hanya mengenyam bangku sekolah sampai SMP, lebih banyak bergaul dengan campuran semen dan pasir, meteran, cepang, dan selang timbangan. Maka wajar saja jika Wildan tidak maksimal melakukan perannya sebagai petugas upacara.

Sebagai penjaga, pagi-pagi Wildan sudah di sekolah untuk membuka kunci gerbang dan pintu ruang kelas serta mengontrol kebersihan sekolah. Selepas itu Wildan harus bekerja jika ada yang membutuhkan jasanya sebagai tukang. 

Imbalannya sebagai penjaga sekolah jauh dari kata cukup untuk menghidupi istri dan dua orang anaknya. Honornya sebagai penjaga sekolah belum memberikan kemerdekaan secara utuh kepada diri dan keluarganya untuk mempertahankan hidup yang makin hari makin penuh persaingan. Namun, kondisi itu tidak membuatnya kehilangan nasionalisme.

Lombok Timur, 18 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun