Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta International Stadium (JIS) dalam Lingkaran Kumuh

18 Juli 2022   10:37 Diperbarui: 18 Juli 2022   11:46 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 16 Juli 2022, saya berkesempatan melihat bangunan Jakarta International Stadium (JIS). Tampak dari kejauhan bangunan itu mirip sarang tawon raksasa. Ukurannya yang super jumbo sangat tidak memungkinkan menyimpulkan bentuknya secara utuh. 

Saya mencoba memperalat google untuk menampilkan bentuk aslinya secara keseluruhan. Ternyata gambar utuhnya sepintas terlihat seperti sebuah cincin. Gambar lainnya tampak mirip kue donat.

Berdasarkan sebuah sumber, bentuk stadium diambil dari budaya lokal ikat kepala Betawi. Bagian depan bangunan terdapat lubang diinspirasi oleh ornamen gigi balang khas Betawi.(1)

Kesan JIS menunjukkan kemewahan, kemegahan, dan simbol keunggulan. JIS–perjalanan panjang pembangunannya digagas sejak era Foke–merupakan ikon kebanggaan Pemprov DKI. Atau bisa jadi mewakili negara yang mampu membangun infrastruktur dengan nilai pembiayaan, ukuran, dan struktur bangunan yang sangat prestisius. 

Dibangun di atas lahan seluas lebih dari 26 hektar, JIS diklaim sebagai stadium olahraga terbesar ke-5 di Asia. Bahkan sumber lain menyebutkan, JIS yang mampu menampung 82 ribu penonton itu, masuk dalam daftar ke-10 setelah Miami Freedom Park, Lusail Iconic, Bramley-Moore Dock, Camp Nou, Santiago Bernabeu, New Feyenoord, Della Roma, New San Siro, dan Grand Stade de Casablanca. (2)

JIS tidak saja memiliki fungsi sebagai sarana bola tetapi juga sebagai pusat konser musik bertatap internasional, area wisata, dan tempat bersantai bagai warga sekitar.

Hamparan Rumah Kumuh 

Saat turun dari bus yang saya tumpangi, sebagai orang yang pertama kali menginjakkan kaki di ibukota, secara spesifik saya tidak tahu tengah diturunkan di jalan apa, di bagian mana, dan sebelah mana. Cuaca mendung membuat saya tidak tahu arah mata angin. Saya benar-benar berada di negeri asing. Saya hanya tahu bahwa JIS berada di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Itupun informasi yang saya dapatkan melalui google yang serba tahu. Saya terpukau oleh pemandangan kemegahan bangunan.

Satu hal yang jelas bahwa saya turun pada sebuah area pemukiman kumuh. Di hadapan saya terhampar pemukiman yang sangat tidak layak ditempati oleh manusia. Saya berjalan menyusuri trotoar di depan pemukiman yang dibatasi oleh teralis. Sebuah sepeda butut tak terpakai tampak pasrah diikat rantai pada teralis pembatas trotoar dan pemukiman.

Dokpri
Dokpri

Deretan rumah panggung seadanya berdiri di atas genangan air comberan. Ada bau menyengat. Rumah-rumah itu dibangun dengan bahan seadanya, seperti, bambu, kayu sisa bangunan, kardus bekas, sisa banner tak terpakai, dengan atap seng dan bahan lain yang dapat meneduhkan penghuninya.

Seorang ibu bertubuh tambun tampak sedang mencuci pakaian di depan pintu yang  terlihat seperti kamar mandi. Seorang bocah telanjang berdiri di atas potongan batu bata dan puing bangunan yang dihamparkan di atas genangan air yang telah tercemar. 

Sekelompok bocah lainnya bermain kejar-kejaran di trotoar. Bocah-bocah berpakaian dekil itu menghentikan permainannya ketika tahu ada pejalan kaki yang akan melintas. Mereka tampak tersenyum seakan meminta maaf telah menghalangi langkah pengguna trotoar.

Pada salah satu sisi halaman sempit, dua orang laki duduk berhadap-hadapan. Di depan mereka sebuah papan catur memasung pikirannya. Keduanya tampak tidak peduli dengan orang di sekelilingnya, hiruk pikuk jalanan Jakarta, dan bau comberan yang menyengat. Di dekat mereka terlihat sebuah lubang kecil dengan diameter 50-60 cm. Lubang itu dilindungi dengan papan kayu. Saya sempat melirik ke dalam lubang. Di dalamnya terlihat genangan air yang lebih jernih daripada air yang menggenang di bawah bangunan. Saya menduga lubang itu dijadikan sumber air untuk kebutuhan mandi.

Dokpri
Dokpri

Perhatian saya dan sejumlah teman-teman tidak lagi terpikat kemegahan gedung. Kesadaran saya tersandera oleh bangunan (mungkin liar) dengan kondisi yang sangat miris.

Perbedaan Hidup yang Jomplang

Pemandangan itu melukiskan dua warna hidup yang jomplang. Di satu sisi, JIS menampilkan keagungan, superioritas, dan keunggulan negara dan pemerintah. JIS telah membuktikan kemampuan negara dan pemerintah membangun infrastruktur yang mampu disejajarkan dengan infrastruktur di berbagai negara maju. Negara telah menunjukkan kemampuan eksistensinya di mata dunia untuk membuat bangunan monumental seperti Jakarta International Stadium. 

Di sisi lain, kemegahan infrastruktur itu masih menyisakan kehidupan yang memprihatinkan. Masih ada warga negara yang belum menikmati “kesejahteraan umum” sebagaimana amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Mereka masih menjalani hidup dengan bernaung di bawah tempat tinggal yang sangat tidak manusiawi. Saya tidak sempat ngobrol dengan mereka tetapi kondisi tempat tinggal itu menunjukkan bahwa mereka menjalani hidup dengan kondisi yang memprihatinkan.

Saya tidak sedang menempatkan diri sebagai seorang pengamat sosial atau sebagai pemberi kritik terhadap negara. Saya hanya menulis pengalaman saya ketika memasuki kehidupan ibukota. Saya dan semua kompasianer tentu memiliki harapan yang sama agar amanat dalam pembukaan UUD 45 dapat terwujud. Amanat itu adalah "meningkatkan kesejahteraan umum".

Lombok Timur, 18 Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun