Seorang ibu bertubuh tambun tampak sedang mencuci pakaian di depan pintu yang terlihat seperti kamar mandi. Seorang bocah telanjang berdiri di atas potongan batu bata dan puing bangunan yang dihamparkan di atas genangan air yang telah tercemar.
Sekelompok bocah lainnya bermain kejar-kejaran di trotoar. Bocah-bocah berpakaian dekil itu menghentikan permainannya ketika tahu ada pejalan kaki yang akan melintas. Mereka tampak tersenyum seakan meminta maaf telah menghalangi langkah pengguna trotoar.
Pada salah satu sisi halaman sempit, dua orang laki duduk berhadap-hadapan. Di depan mereka sebuah papan catur memasung pikirannya. Keduanya tampak tidak peduli dengan orang di sekelilingnya, hiruk pikuk jalanan Jakarta, dan bau comberan yang menyengat. Di dekat mereka terlihat sebuah lubang kecil dengan diameter 50-60 cm. Lubang itu dilindungi dengan papan kayu. Saya sempat melirik ke dalam lubang. Di dalamnya terlihat genangan air yang lebih jernih daripada air yang menggenang di bawah bangunan. Saya menduga lubang itu dijadikan sumber air untuk kebutuhan mandi.
Perhatian saya dan sejumlah teman-teman tidak lagi terpikat kemegahan gedung. Kesadaran saya tersandera oleh bangunan (mungkin liar) dengan kondisi yang sangat miris.
Perbedaan Hidup yang Jomplang
Pemandangan itu melukiskan dua warna hidup yang jomplang. Di satu sisi, JIS menampilkan keagungan, superioritas, dan keunggulan negara dan pemerintah. JIS telah membuktikan kemampuan negara dan pemerintah membangun infrastruktur yang mampu disejajarkan dengan infrastruktur di berbagai negara maju. Negara telah menunjukkan kemampuan eksistensinya di mata dunia untuk membuat bangunan monumental seperti Jakarta International Stadium.
Di sisi lain, kemegahan infrastruktur itu masih menyisakan kehidupan yang memprihatinkan. Masih ada warga negara yang belum menikmati “kesejahteraan umum” sebagaimana amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Mereka masih menjalani hidup dengan bernaung di bawah tempat tinggal yang sangat tidak manusiawi. Saya tidak sempat ngobrol dengan mereka tetapi kondisi tempat tinggal itu menunjukkan bahwa mereka menjalani hidup dengan kondisi yang memprihatinkan.
Saya tidak sedang menempatkan diri sebagai seorang pengamat sosial atau sebagai pemberi kritik terhadap negara. Saya hanya menulis pengalaman saya ketika memasuki kehidupan ibukota. Saya dan semua kompasianer tentu memiliki harapan yang sama agar amanat dalam pembukaan UUD 45 dapat terwujud. Amanat itu adalah "meningkatkan kesejahteraan umum".
Lombok Timur, 18 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H