Lahir 4 tahun silam menjelang Idul Adha 1439 H. Kelahirannya persis saat gempa menjadi trend bencana di Lombok Utara. Selama belasan hari sempat menjadi anak tenda. Kelahirannya juga dikawal musibah yang mendera keluarga atas kepergian salah seorang adik tercinta.
Saya sematkan nama Muhammad Zulhajj Ahsanul Khalqi. Nama yang cenderung terlalu panjang. Kata di belakang itu menjadi sapaannya. Kata "Zulhajj" saya selipkan untuk mengingat bulan Zulhijjah sebagai bulan kelahirannya.
Khalqi sempat dirundung koreng dan kudis beberapa bulan setelah kelahirannya. Penyakit yang disebabkan hewan mikroskopis itu ditularkan oleh si Sulung, santri yang menyelesaikan pendidikan pesantren karena tidak tahan cobaan hidup di asrama bukan karena sudah banyak mendapat ilmu.
Rintihan akibat gatal menyayat rasa hampir setiap malam sambil menggaruk bagian tubuhnya yang gatal. Sekarang perjuangannya melawan penyakit itu telah berlalu.
Saat umur dua tahun Khalqi sudah menguasai sejumlah besar kosakata untuk balita seusianya. Dia hafal hampir semua nama papuknya (kakek/nenek: Sasak). Papuk Us, Papuk Tuan Cun, Papuk Ucin,, Papuk Hila, Papuk Ae, sampai Papuk Apok. Bahkan sebagian besar tetangga dekat dari yang kecil sampai generasi renta sudah menjadi bagian dari sistem kognisinya.
"Uciiin...!" teriaknya saat melihat Papuk Ucin atau mendengar mesin mobilnya memasuki gerbang halaman. Dan.. "Pepeeng...!" kata itu mengiringi teriakan pertamanya karena terbiasa diberikan kepeng (Uang:Sasak).
Saat usia dua tahun dia memperlihatkan kebiasaan tak lazimnya. Khalqi suka menjadikan sendok masak sebagai mainan. Peralatan dapur itu dibawanya kemana-mana bahkan saat tidur.
Setiap hari Khalqi mengawali hidup sejak fajar. Bagi saya ini anugerah karena kehadirannya telah memutus kebiasaan tak elok saya. "Bangun kesiangan".
Khalqi tergolong anak yang aktif. Tidak bisa diam. Seringkali ibunya histeris berteriak melihatnya meloncat dari atas meja seperti atlet parkour.
Khalqi telah memberikan fakta bahwa bahasa pertama yang dikenal manusia adalah bahasa Ibu. Sebagaimana anak pada umumnya, jika diminta mengambil sesuatu atau mandi saat sedang bermain, dia acapkali menolak.
"Repot. Oki repot," katanya tanpa menoleh sedikitpun.
Kata repot sering digunakan sebagai alasan ibunya yang sedang sibuk di dapur ketika diajak Khalqi keluar rumah atau diminta melakukan sesuatu.
Memasuki usia empat tahun Khalqi mulai mengenal dan belajar memahami kondisi alam. Dia mulai berfikir tentang hal-hal yang lebih luas.
suatu sore setelah hujan lebat saya mengajaknya jalan-jalan keliling desa agar tidak mengganggu ibunya yang sedang bekerja di dapur
"Itu ada lautan Pak," serunya saat melihat genangan air di sawah.
"Itu bukan lautan tetapi sawah," saya menjelaskan.
"Tetapi ada airnya," khalqi bersikukuh dengan alasannya.
Lautan dalam pikirannya adalah genangan air. Beberapa kali diajak ke pantai dan melihat laut dengan genangan air membuatnya berkesimpulan bahwa laut merupakan semua genangan air yang luas menurut ukuranya.
Sama halnya dengan gunung. Ketika suatu hari Minggu ikut saya ke sekolah untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan, Khalqi berteriak lantang sambil menunjuk sesuatu.
"Gunung Rinjani, Pak! Gunung!"
Dia terus teriak menyebut gunung. Pada saat yang sama, telunjuk kecilnya terus mengarah ke sebuah titik. Tangan mungil itu menunjuk kubah masjid.
Satu hal yang masih ada pada Khalqi adalah tantrum, sebuah ledakan emosi yang biasanya ditandai dengan sikap keras pada anak. Mereka mengekspresikannya dengan menangis, menjerit, berteriak, membangkang, atau marah saat keinginannya tidak terlampiaskan.
Berbeda dengan anak kebanyakan yang dapat diajak kompromi. Khalqi memiliki tipe dan sifat yang keras, memiliki keinginan yang kuat untuk menguasai sesuatu. Entah menguasai sesuatu yang bersifat kebendaan atau menguasai keterampilan tertentu untuk anak seusianya. Sudah beberapa kali jidatnya benjol terbentur dan bibirnya berdarah akibat polahnya yang naik dan loncat dari meja dan kursi.
Salah satu kebiasaan Khalqi adalah melepaskan bagian-bagian tertentu setiap mainannya kemudian bagian itu disusun kembali seperti semula. Pada titik ini tantrumnya muncul. Dia akan menunjukkan kekesalannya dengan berteriak, menangis, atau mencampakkan mainan tersebut.
Setelah membaca beberapa artikel yang berhubungan dengan tantrum, ternyata pada fase 4-5 tahun (seusia Khalqi) perilaku seperti itu masih dapat dianggap normal. Untuk meredakan tantrum itu biasanya saya berusaha memenuhi keinginannya sejauh itu memang meungkinkan untuk dilakukan, seperti, membantu menyusun kembali bagian mainan yang copot, mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya melakukan aktivitas lain yang dapat membuat kekesalannya mereda. Jika tidak bisa, saya akan menggendongnya dan melakukan bujukan agar emosinya dapat dikendalikan.
Lombok Timur, 06 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H