Daunnya yang rimbun menciptakan keteduhan di depan rumah. Cabangnya menjalar menghampari para-para yang dibuat sebagai media rambat.
Batangnya ditanam di sisi depan teras. Ayah membuatkan bak khusus untuk menanamnya. Beliau sendiri yang merancangnya dengan bahan batu bata puing bangunan tak terpakai.
"Ayah mau buat apa?" saya bertanya saat beliau tengah mengerjakannya beberapa waktu yang lalu, saya tidak ingat tepatnya.
"Tempat bertanam", katanya singkat.
"Tanam apa?"
Beliau diam. Hanya napasnya terdengar mengikuti irama gerak tangan dan tubuhnya yang sedang bekerja.
"Bunga. Mungkin bunga," Ayah memberikan jawaban tanpa menoleh.
"Bunga jenis apa?"
"Nanti saja kita lihat."
Dua hari kemudian bak itu sudah dijejali dengan timbunan tanah. Timbunan paling atas dilapisi pupuk kandang.
"Ayah dapat darimana kandang?" saya membuka obrolan. Kami biasa duduk di teras rumah sambil berbagi rokok.
Ayah tidak langsung menjawab. Beliau mengangkat gelas kopi di atas meja. Sebatang rokok terselip dijemarinya. Dihisapnya dalam-dalam benda berbentuk tabung itu perlahan. Saya melakukan hal yang sama. Minum kopi dan mengisap rokok.
Sesaat kemudian asap putih mengepul dari mulut Ayah dan mulut saya. Dua laki-laki, ayah dan anak, sama-sama penikmat zat aditif bernama tar dan nikotin.
Keduanya sudah tahu bahwa rokok bukan sesuatu yang baik untuk kesehatan. Banyak efek menakutkan yang dapat ditimbulkan. Mulai dari gangguan paru-paru, kanker, sampai impotensi.
Para perokok berdalih, leluhur mereka sudah mengenal rokok. Bahkan rokok leluhur itu mengandung nikotin dan tar yang jauh lebih padat dari rokok sekarang. Tembakau orang tua dulu jenisnya hitam dengan aroma menyengat. Jika dihisap saluran nafas serasa dilintasi sebuah dump.
Para perokok yang sudah kecanduan memang selalu mencari alibi. Mereka akan menggunakan argumen apa saja untuk membenarkan tindakannya.
Rupanya cara berfikir para perokok telah merambat ke kehidupan masa kini. Dalam kehidupan sosial seseorang sering kali berlaku semaunya tanpa hirau kepada aturan yang telah ditetapkan atau telah disepakati bersama.
Lihatlah di jalan raya, misalnya, banyak ditemukan pengendara melanggar traffic light saat lampu berwarna merah. Karena sepi dan tidak ada polisi mereka melaju tanpa menghiraukan rambu-rambu lalu lintas. Anak-anak muda membuka handphone dengan tangan kiri dan tangan kanan kanan memegang stang ketika motor sedang melaju. Atau sering tampak seseorang membuang bungkus makanan plastik ke saluran atau sungai.
"Hanya selembar plastik kecil. Tidak akan berpengaruh terhadap saluran," kilahnya jika ditegur.
Memang tidak berpengaruh tetapi soalnya bukan itu. Tindakan itu masalah mental, kebiasaan, dan perilaku.
Mengambil uang orang lain seratus rupiah atau seratus ribu rupiah memiliki kesamaan. Sama sama mencuri.
"Dari kandang sebelah," Ayah menjawab pertanyaan saya setelah kami menjeda kenikmatan cairan hitam dan asap putih. Sambil menjawab, tangannya menunjuk posisi kandang tetangga yang memiliki ternak sapi di samping rumah.
"Saya mau menanam anggur," lanjutnya.
"Anggur?"
"Ya. Anggur." kata ayah meyakinkan saya.
"Anggur jenis apa?"
"Pokoknya anggur. Sepertinya bagus untuk perindang."
"Ayah pernah lihat anggur pohon?"
"Anggur pohon?"
"Ya. Anggur pohon."
"Seperti apa?"
"Ya. Seperti pohon. Tidak merambat seperti anggur biasa. Tidak membutuhkan rak atau para-para. Tidak merambat seperti anggur pada umumnya. Tetapi bibitnya lumayan mahal."
"Harganya berapa?"
"Tergantung. Yang sudah besar bisa mencapai 500-700 ribu."
Saya membuka smartphone dan melakukan browsing untuk mencari bentuk anggur pohon. Saya perlihatkan.
Ayah melihat gambar pada smartphone yang saya sodorkan. Dahinya mengernyit pertanda membuat fokus pandangan pada objek yang dilihatnya. Sepertinya beliau tertarik.
"Ini bagus. Tapi harganya mahal. Anggur yang biasa saja. Yang merambat. Nanti dibuatkan para-para," kata ayah memutuskan.
Sekarang anggur itu sudah merimbun. Beberapa kali cucu-cucu ayah sudah dapat menikmati buahnya. Beliau selalu tersenyum ketika melihat anak cucunya menikmati anggur.
Begitulah Ayah. Senang bertanam. Halamannya penuh dengan segala macam tanaman. Beliau juga menanam cabai dalam polybag di salah satu sisi halamannya. Tiga batang markisa berbaris di halaman depan. Seluruh pinggir dinding halamannya hampir tidak ada jeda oleh pot tanaman. Ada sirih yang menjalar merengkuh tembok halaman dan tiang lampu.
Stek anggur hanya sekitar dua jengkal yang ditanamnya dulu sekarang telah bercabang bagai kaki gurita raksasa mencengkeram para-para. Ayah selalu menikmati proses dari setiap tindakannya. Beliau senantiasa sungguh-sungguh melakukan sesuatu. Amat jarang saya mendengar keluhnya.
Sebatang anggur milik Ayah. Hanya sebatang. Tetapi tanaman rambat itu telah melukiskan kesungguhannya ketika melakukan sesuatu.
Keberadaan anggur di depan teras itu telah menjelaskan bahwa beliau adalah pribadi yang sabar dan serius merawat sesuatu, sebagaimana beliau sangat serius merawat cinta almarhumah Ibu. Bahkan setelah Ibu pergi, beliau selalu berpesan, "Jangan lupa do'a untuk Ibumu!"
Lombok Timur, 14 Juni 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H